JAKARTA--Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mendesak pemerintah meninjau penerapan Bea Keluar (BK) untuk ekspor kakao dengan alasan pihaknya tidak dilibatkan dalam pembuatan peraturan tersebut. Sekjen Askindo, Zulhelfi Sikumbang, mengaku kecewa karena pemerintah tidak melibatkan Askindo sebagai stakeholder terbesar di industri coklat, dalam pembuatan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mewajibkan pengenaan BK.
''Pungutan ekspor yang ditandatangani 22 Maret 2010 dan berlaku 1 April, tidak memberitahu asosiasi. Askindo tahu dari wartawan yang menanyakan kepada kami,'' katanya kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (9/4).
Zulhelfi mempertanyakan basis harga dan besaran tarif yang dikenakan pemerintah terhadap kakao. Menurutnya, penerapan basis harga kakao kena bea sebesar 2.000 dolar AS per ton akan menyulitkan petani. Karena, menurut perhitungannya, dengan level harga seperti itu, pendapatan petani kakao hanya Rp 7,2 juta per tahun. ''Untuk petani kakao jumlah tersebut tidak menguntungkan, karena mereka harus banyak mengeluarkan uang untuk perawatan tanaman,'' ucapnya.
Selain itu, Zulhelfi berkata, jika ingin memberlakukan BK untuk mendorong pertumbuhan industri hilir, pemerintah mesti konsisten untuk komoditas lainnya. Dia pun berharap pemerintah bisa melakukan kebijakan yang sama di kakao dan kelapa sawit. Perbandingannya, di industri kelapa sawit juga diterapkan BK untuk ekspor bahan mentah, namun secara progresif. ''Bagaimanapun kita harus ekspor karena produksi nasional 550 ribu ton, sementara kebutuhan industri 225 ribu ton. Ada over capacity,'' jelasnya.