EKBIS.CO, JAKARTA—-Pemerintah berencana melakukan impor beras untuk memperkuat stok beras Bulog yang terus merosot. Namun demikian, Komisi IV DPR yang membidangi pertanian, kehutanan, dan kelautan-perikanan, menilai, impor beras bukan merupakan solusi terbaik mengatasi ketersediaan stok pangan nasional.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar, Siswono Yudo Husodo, berpendapat, produksi padi nasional tahun ini dipastikan meningkat cukup signifikan sejalan dengan musim hujan sepanjang tahun ini.
Menurut Siswono, banyak petani di daerah sentra produksi padi yang tahun ini memperbanyak tanam padi. Bila biasanya mereka hanya menanam dua kali selama satu tahun, kini menanam tiga kali. “Panennya pun bagus-bagus dan produksinya tinggi, jadi saya berpendapat belum perlu impor beras saat ini,” kata Siswono kepada Republika, Kamis (23/9).
Dia melanjutkan, dirinya memahami alasan pemerintah yang mewacanakan pemberian izin impor beras kepada Bulog. Impor beras dipicu kekhawatiran iklim yang tak menentu akibat fenomena La Nina.
Pemerintah, kata Siswono, khawatir jika tahun depan terjadi fenomena iklim sebaliknya atau El Nino yang menyebabkan kekeringan di Indonesia. Tidak menentunya iklim inilah yang memicu pemerintah berpikiran impor beras. “Tapi saya kira tidak perlu terlalu khawatir, pikiran-pikiran untuk impor pun belum perlu,” ucapnya.
Menurut Siswono, saat ini pemerintah hendaknya berkonsentrasi pada peningkatan bantuan langsung benih unggul kepada petani. Benih unggul akan membantu petani dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. Selain menjamin produksi tetap berjalan, pemberian benih unggul juga akan memberikan keuntungan kepada petani agar terus bertani sawah. “Jadi kalau pemerintah khwatir terhadap produksi beras tahun depan tidak terpenuhi, lebih baik meningkatkan bantuan langsung benih unggul.”
Sekarang ini, dari jumlah luas panen sawah yang mencapai 13 juta hektare, hanya 50 persen saja yang menggunakan benih unggul. Selebihnya, kata Siswono, masih menggunakan benih tradisional yang produktivitasnya rendah. “Kalau penggunaan benih unggul terhadap area tanam diperbanyak, maka produksi dan produktivitas akan terjaga bahkan meningkat,” imbuh Siswono.
Menteri Pertanian, Suswono, mengakui, impor beras dilakukan untuk menjamin ketersediaan stok beras nasional. Sampai kini, kata Suswono, belum ada instrumen yang bisa mengukur keberadaan beras di setiap lini. “Terus terang kita belum punya instrumen untuk mengukur berapa beras yang ada di petani dan berapa yang ada di pasar atau pedagang. Kita hanya bisa tahu stok beras yang ada di Bulog,” kata Mentan.
Hal yang pasti, lanjut Suswono, stok beras di Bulog saat ini tersisa 1,2 juta ton yang akan terus dikeluarkan sampai akhir tahun. Padahal apabila Bulog mampu optimal dalam melakukan pengadaan atau penyerapan gabah/beras dari petani, maka seharusnya stok beras di gudang Bulog bisa mencapai 3,8 juta ton.
“Karena itu daripada nanti kewalahan, alternatif impor beras perlu dilakukan guna menjaga ketahanan pangan kita. Dengan stok sekarang ini, operasi pasar yang dilakukanm Bulog juga tidak akan bisa menstabilkan harga,” ujar Suswono.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Gatot Irianto, menambahkan, sebenarnya pasokan beras saat ini sangat berlimpah. Di Pasar Induk Cipinang saja, pasokan beras mencapai 4.000 ton sampai 4.500 ton per harinya dari angka kebutuhan 2.000 ton per hari.
Namun demikian, berlimpahnya pasokan tetap tidak bisa menurunkan harga beras yang relatif masih tinggi. “Sampai sekarang kita cari penyebabnya, tapi belum ketemu. Hukum supply and demand jelas tidak berlaku di sini, jadi pasti ada sesuatu lainnya,” imbuh Gatot.
Kementerian Pertanian menduga, salah satu penyebab harga beras masih tinggi adalah cadangan Bulog yang tidak kuat. “Dugaan kita ada spekulan yang menguji mengenai ini. Kita juga tidak ingin bertaruh terhadap perubahan iklim tahun depan, makanya pilihan dalam rangka jaga-jaga,” tandas Gatot.