EKBIS.CO, SURABAYA--Mayoritas atau 99 persen penduduk Amerika Serikat (AS) menyerap produk rokok kretek Indonesia karena kualitas komoditas tersebut dinilai baik oleh pasar rokok Negeri Paman Sam itu.
"Namun, kini produsen kretek Indonesia semakin kehilangan ruang gerak, khususnya untuk pengembangan pasar ekspor," kata Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Soedaryanto, di Surabaya, Minggu (17/10).
Menurut dia, pasar industri rokok kretek nasional diyakini terancam karena banyak negara telah menandatangani 'Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)' atau Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau yang diinisiasi 'WHO'.
"Sementara itu, realisasi ekspor produk rokok nasional antara Januari 2010 sampai Maret 2010 hanya 2,53 juta dolar AS," ujarnya.
Jumlah tersebut, jelas dia, meningkat dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, tetapi selama periode itu sama sekali tidak ada ekspor produk 'cigarettes tobacco', termasuk rokok kretek. "Kalau realisasi ekspor rokok Indonesia ke AS sampai sekarang terus menurun," katanya.
Pada tahun 2007 ekspor rokok ke AS 11,165 juta dolar AS, lalu turun menjadi 9,7 juta dolar AS pada tahun 2008 dan pada tahun 2009 turun menjadi 8,338 juta dolar AS. "Penurunan tersebut dialami seluruh jenis rokok yang diproduksi Indonesia," katanya.
Penurunan itu, tambah dia, dikarenakan pemberlakuan undang-undang tentang pencegahan dan pengurangan jumlah perokok muda 'Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act' pada bulan September 2009. "Kebijakan itu melarang penjualan semua rokok yang mengandung aroma dan rasa terutama rokok kretek di AS," katanya.
Padahal, lanjut dia, rokok kretek dan rokok menthol adalah produk serupa sesuai Pasal 2.1 pada 'Agreement on Technical Barriers to Trade/TBT Agreement'.
Saat ini, tercatat ada 3.000 perusahaan yang memproduksi rokok kretek dengan investasi mencapai Rp 250 triliun. "Secara keseluruhan sudah ada sekitar 500 miliar batang yang diproduksi. Pencapaian tersebut menggunakan jasa sekitar 600.000 orang tenaga kerja," katanya.