EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengatakan maksimal saham yang boleh dibeli asing sebesar 49 persen dan dilakukan secara bertahap dalam suatu masa transisi.
"Misalnya secara bertahap dalam kurun waktu lima tahun ke depan dan tidak berlaku surut sejak aturan baru diberlakukan," kata Ryan di Jakarta, Rabu (20/2).
Menurut dia, Angka 49 persen itu masih tergolong tinggi karena di negara lain, pembatasannya jauh lebih rendah. Ia mencontohkan, Malaysia hanya memperbolehkan investor asing memiliki 17 persen saham bank negara tersebut. Sedangkan di Australia, hanya diizinkan memiliki 35 persen saham.
"Australia negara liberal, tapi pembatasannya juga rendah. Jika sudah direvisi maka harus dikomunikasikan dengan baik agar respon pasar tidak negatif," ujarnya. Yang tak kalah pentingnya, lanjut dia, kepemilikan saham harus menyebar agar tidak ada dominasi kepemilikan secara mayoritas supaya kendali usaha bank menjadi lebih profesional dengan pengawasan yang lebih efektif.
Ia menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 6 persen telah membawa minat investor asing masuk ke Indonesia, termasuk ke industri perbankan. Namun, lanjutnya, belajar dari kasus perbankan Eropa, kepemilikan asing tersebut bisa menjadi 'pedang bermata dua'. Di satu sisi kepemilikan asing bisa mendatangkan modal dan kemampuan teknologi yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan perbankan.
"Tapi, di sisi lain hal tersebut bisa berbahaya bagi perekonomian suatu negara jika terjadi krisis keuangan global. Kita bisa melihat pada kasus krisis yang terjadi di Eropa," ujarnya.
Sebelumnya, DPR RI belum memastikan besaran angka pembatasan kepemilikan asing di industri perbankan tanah air karena masih mencari titik tengah. "Belum dapat dipastikan apakah asing hanya boleh memiliki di angka 25 persen atau 49 persen," kata Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis, Kamis (19/2).
Menurut dia, DPR masih terus mendengarkan lebih banyak saran untuk mendapatkan angka yang jelas mengenai pembatasan kepemilikan asing tersebut. "Apakah akan diserahkan ke Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lalu mereka buat semacam aturan sendiri mengenai hal ini, kita masih belum tahu," ujarnya.