EKBIS.CO, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat kerugian akibat kegagalan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) mencapai angka Rp 18,7 triliun. Jumlah ini dihitung dari total anggaran yang dialokasikan dalam APBN 2009-2014.
"Efek kerugian ini memukul 6,2 juta peternak rakyat, peternak skala kecil dan menengah," ujar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqaddas saat Kajian Kebijakan Tata-Niaga Komoditas Strategis Daging Sapi, Rabu (20/2).
Hasil riset KPK pada sektor ketahanan pangan menunjukkan kebijakan terkait peternakan tidak pro rakyat. Selain itu terjadi pelanggaran kebijakan yang telah dirancang oleh banyak pihak yang berkepentingan. Peraturan tidak dijalankan secara operasional. Alhasil, menurut dia, prosedur didesain untuk melegalkan praktek korupsi.
Sejauh ini KPK menemukan banyak kejanggalan terkait distribusi daging. Populasi sapi potong tahun 2011 menunjukkan 93 persen peternak lokal sanggup menyediakan sapi untuk kebutuhan konsumsi nasional. Perhitungan ini dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Sumatra, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua. "Ada hambatan yang disengaja sehingga menimbulkan efek langsung pada proses distribusi," kata Busyro.
Di Jawa Timur misalnya, terdapat sejumlah kebijakan transportasi oleh daerah sehingga menyulitkan pengiriman ke Jakarta. Terdapat pula beberapa peraturan daerah yang melarang sapi betina diantarpulaukan. Lalu peternak juga dikenai pungutan retribusi yang tinggi.
Faktor lain yang dibiarkan luput dari perhatian yaitu Rumah Potong Hewan (RPH) yang tidak diarahkan untuk menghasilkan daging beku. Akibatnya, RPH tidak berfungsi untuk meningkatkan nilai tambah bagi peternak. Masih di Jawa Timur, KPK pun menemukan lima buah RPH yang sudah lima tahun tidak beroperasi.
Kebijakan pengetatan impor juga dirancang untuk mengejar keuntungan beberapa pihak. Imbasnya, sekelompok orang menguasai bisnis sirkulasi daging yang sekarang marak disebut sebagai kartel.
Busyro juga mengindikasikan keterlibatan pihak luar karena importasi berasal dari negara lain. "Ada dugaan kapitalisme asing," ujarnya.
Ia menyinyalir aktor dibalik kartel daging yaitu birokrasi, politisi dan pengusaha. Kartel ini, terangnya, merancang kebijakan untuk mengerdilkan daya saing peternakan lokal. Lalu, kebijakan pengetatan impor pun dirancang untuk menjadi lahan rent-seeking (jual beli dengan cara taksir). Hambatan distribusi membuat sejumlah peternak lokal terpaksa menjual ternaknya kepada tengkulak. Efeknya dirasakan saat ini, harga daging menjadi tidak terjangkau oleh konsumen.
Dalam kurun waktu 1990 - 2012, KPK pun melihat tren pergeseran arah perdagangan sapi. Tahun 1990an , pengiriman sapi dari wilayah timur ke Jabodetabek langsung melalui jalur laut (kapal). Sedangkan sapi impor masuk melalui Pelabuhan Cilacap. Lalu tahun 1990-2000, pengiriman sapi mulai menggunakan jalur darat dari Surabaya dengan menggunakan kereta dan truk, sedangkan sapi impor tetap masuk melalui Pelabuhan Cilacap.
Kini sejak tahun 2000-2012, sebagian besar pengiriman sapi dari wilayah timur mulai bergeser ke Kalimantan. Sapi dan daging impor masuk melalui Tanjung Priok.
Tata laksana importasi sapi dan daging yang berlaku saat ini menurut KPK rawan penyalahgunaan. Pasalnya, instalasi karantina hewan atau produk hewan sementara sulit dikontrol. Terlebih tidak terintegrasinya badan-badan otoritas di pelabuhan. "Kontrol yang lemah ini juga didesain," tambah Busyro.