EKBIS.CO, JAKARTA -- Krisis daging sapi di Indonesia diperkirakan akan semakin parah menjelang lima tahun ke depan. Hal ini disebabkan kelas menengah membutuhkan daging yang berkualitas baik.
Komoditas daging sapi, menurut Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro, sudah menjadi alat politik yang menimbulkan kegaduhan luar biasa. Saat ini, ungkapnya, kebutuhan pangan, khususnya daging di Indonesia sudah sangat dramatis seiring dengan tumbuhnya kelas menengah mencapai 163 juta orang.
Kelompok masyarakat menengah, terang Ismed, tak lagi sekadar memakan tempe dan tahu, tapi daging. Akibatnya, kebutuhan daging per individu di Indonesia sekarang mencapai 2,1 kilogram (kg) per tahun. Angka tersebut masih rendah dibanding Filipina yang mencapai 5 kg per tahun dan Australia 31 kg per tahun.
"Dengan kebutuhan daging 2,1 kg per tahun saja kita sudah krisis, bagaimana ke depannya?" ujar Ismed kepada ROL di Jakarta, Kamis (7/3).
Indonesia, kata Ismed, juga akan kehabisan devisa untuk terus mengimpor daging sapi. Celakanya, alokasi impor itu justru diberikan kepada perusahaan yang tak memunyai kesadaran nasional untuk berkontribusi terhadap peternakan sapi nasional.
Fenomena yang terjadi saat ini, kata Ismed, transaksi impor daging sapi dilakukan di lobi hotel, bukan di pusat sentra peternakan sapi nasional. Pada fase tertentu, impor sapi semestinya membangun basis kemandirian petani dan peternak sapi.
Konsep-konsep swasembada daging yang dipakai pemerintah terlihat begitu keruh di lapangan. Direktur Bisnis UMKM Bank Rakyat Indonesia (BRI), Djarot Kusumayakti, mengatakan kekeruhan tersebut terlihat misalnya dari sisi subsidi silang. Importir seharusnya tak hanya memikirkan laba perusahaan saja, tapi juga bisa mengakselerasi petani dan peternak untuk menjadi lebih baik. Banyak batu sandungan yang terlihat untuk kasus ini.
"Kementerian BUMN mendata dari 100 ribu ekor pedet yang ditargetkan pemerintah, peternak nasional hanya sanggup memberikan 20 ribu ekor pedet saja," kata Djarot dalam kesempatan sama.
Kesalahan bukan terletak pada petani. Sebab, kata Djarot, jika petani memaksakan untuk memelihara pedet maka dia mengalami kerugian empat juta hingga lima juta rupiah per tahun. Sedangkan harga pokok petani hanya sembilan juta rupiah per tahun. Sebanyak 70 persen pengeluaran peternak adalah untuk pakan.