EKBIS.CO, JAKARTA -- Keengganan pemerintah mengambil opsi menaikkan harga dalam perumusan kembali kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tak lepas dari semakin memanasnya situasi politik Tanah Air.
Ekonom Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha menyatakan 2013 merupakan periode politik sehingga riskan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi. "Ini kebijakan tak populis," tutur Artha saat dihubungi ROL, Kamis (14/3).
Walaupun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berakhir pada 2014, Artha menilai SBY memiliki kepentingan lain yang lebih besar. Dengan kondisi Partai Demokrat yang tengah limbung, tentu kebijakan tak populis akan dihindari oleh presiden. "Karena pasti akan memengaruhi suara Partai Demokrat," ujarnya.
Sebagai catatan, pemerintah pada tahun anggaran 2013 dapat menaikkan harga BBM bersubsidi tanpa restu DPR. Hal tersebut tertuang dalam pasal 8 ayat (10) Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) Tahun 2013.
Jika salah satu dari patokan dasar harga BBM bersubsidi meleset misalnya harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), pemerintah punya dasar untuk menaikkan harga. Sebagai catatan, Tim Harga Minyak Indonesia mencatat ICP rata-rata per Februari 2013 berdasarkan perhitungan formula ICP meningkat menjadi 114,86 dolar AS atau sekitar Rp 1,1 juta per barel.
Harga ini meningkat 3,79 dolar AS atau sekitar Rp 36 ribu per barel dari harga rata-rata per Januari 2013 yang menyentuh 111,07 dolar AS (Rp 1,07 juta) per barel. Sementara dalam asumsi dasar ekonomi makro APBN ICP dipatok sebesar 100 dolar AS (Rp 9,68 juta) per barel.