EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha meminta pemerintah melihat realita yang ada terkait konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pada kenyataannya, terbukti yang menikmati subsidi BBM adalah kalangan masyarakat mampu.
Beberapa waktu lalu, Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyebut tak kurang dari 70 persen penikmat BBM bersubsidi adalah mobil pribadi. Lebih lanjut, Artha menuturkan, dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pengeluaran untuk subsidi BBM telah melebihi pengeluaran untuk belanja modal. Padahal belanja modal memiliki multiplier effect yang nyata seperti penciptaan lapangan kerja.
"Itu investment pemerintah," kata Artha saat dihubungi ROL, Kamis (14/3).
Sebagai gambaran, dalam APBN 2013, alokasi subsidi BBM mencapai Rp 193,8 triliun. Sedangkan alokasi belanja modal lebih rendah yakni sekitar Rp 184,4 triliun. Pada APBN-P 2012, realisasi belanja modal mencapai Rp 140,2 triliun dari pagu Rp 176,1 triliun.
Selain itu, Artha menyebut dari sisi neraca perdagangan, impor minyak mentah maupun impor hasil minyak terus menunjukkan tren peningkatan. Sedangkan ekspor minyak terperosok akibat rendahnya produksi dan ketiadaan penemuan lapangan minyak yang baru.
Defisit neraca ini, kata Artha, berdampak pada tingginya permintaan terhadap dolar AS. Kondisi ini jelas akan memengaruhi kestabilan nilai tukar rupiah. Jika rupiah tidak stabil, dampaknya beraneka ragam, termasuk di dalamnya adalah inflasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan pada Januari 2013 disebabkan oleh tingginya defisit minyak dan gas yang tercatat 1,43 miliar dolar AS (Rp 13,8 triliun).
Lebih lanjut, Artha menjelaskan, jika pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, kelompok masyarakat yang paling terkena dampak inflasinya adalah masyarakat miskin kota. Sementara masyarakat miskin desa selalu memiliki alternatif jika kenaikan harga bahan pangan terjadi.