EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat energi dari Universitas Indonesia Uka Wikarya menilai subsidi tetap bisa menjadi solusi mengatasi persoalan volume BBM bersubsidi yang terus meningkat. Bila pemerintah takut masyarakat akan terbebani dengan kenaikan BBM bersubsidi secara langsung, pemerintah bisa menetapkan batasan subsidi yang bisa diberikan pemerintah.
Misalnya dalam setahun, pemerintah hanya akan memberi subsidi Rp 2 ribu per liter. "Jadi akan ada shifting (peralihan) ke harga pasar. Tapi tanpa mencabut subsidi," katanya, Jumat (15/3).
Dengan harga minyak sebesar 99,73 dolar AS per barel contohnya, harga BBM bersubsidi seharusnya dikisaran Rp 7.900 hingga Rp 8.200 per liter. Namun dengan subsidi sebesar Rp 2 ribu, maka masyarakat akan membeli BBM bersubsidi dengan harga dikisaran Rp 6 ribu.
"Memang harga akan fluktuatif," tegasnya. Tapi ini bisa menjadi solusi sementara agar masyarakat terbiasa menghadapi harga energi dunia yang memang kerap tak stabil. Dengan cara ini pun, ia yakin ketika kenaikan harga benar-benar diambil, tanggapan masyarakat pun tak akan membabi buta.
Soal inflasi, ia menuturkan dari perhitungannya memang masyarakat akan mengalami kepanikan tiga hingga enam bulan. Tapi kondisi inflasi akan kembali membaik setelahnya.
Bila harga tak kunjung dinaikkan ia khawatir bukan hanya subsidi yang terbebani tapi juga neraca perdagangan. Neraca perdagangan akan semakin defisit karena impor migas yang meningkat signifikan.
Padahal ekspor migas terus menerus turun. Penerimaan negara melalu batu bara dan ekspor biji pun tak bisa mendongkrak karena turunnya harga dan kebijakan bea keluar 20 persen.
Dari hasil perhitungan LPEM FEUI di 2012, setiap 10 persen kenaikan harga BBM premium misalnya, inflasi akan meningkat sebesar 0,64 persen.