EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan terhadap program swasembada daging sapi (PSDS), khususnya pengendalian impor daging sapi 2010 hingga 2012.
Pemeriksaan bertujuan untuk menilai sistem pengendalian impor daging sapi dalam rangka pencapaian tujuan PSDS yaitu terwujudnya volume impor daging sapi sebesar 10 persen pada 2014.
Ketua BPK Hadi Poernomo menyatakan hasil pemeriksaan BPK menunjukkan adanya kelemahan sistem pengendalian impor dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
Demikian disampaikan Hadi dalam penyerahan ikhtisar hasil pemeriksaan semester II BPK RI kepada DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR, di kompleks Parlemen Senayan, Selasa (2/4).
Hadi menjelaskan, pada periode 2010 hingga September 2011, penetapan kebutuhan impor, pemberian kuota dan penerbitan surat pemasukan (SPP) atas impor daging dan jeroan sapi seluruhnya masih menjadi kewenangan Kementerian Pertanian.
"Namun realisasi impor daging sapi 2010 dan 2011 melebihi kebutuhan impor," ujar Hadi.
Berdasarkan temuan BPK, realisasi impor daging sapi 2010 tercatat 83,3 ribu ton atau 150 persen dari kebutuhan impor. Sedangkan realisasi impor daging sapi 2011 mencapai 67,1 ribu ton atau 187 persen dari kebutuhan impor.
Hadi melanjutkan, pada periode Oktober 2011 hingga saat ini, kewenangan kebutuhan impor telah melalui rapat koordinasi terbatas yang dikoordinasikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, kewenangan pemberian persetujuan impor (PI) Menteri Perdagangan dan kewenangan pemberian rekomendasi persetujuan pemasukan Menteri Pertanian.
"Tapi, masih ditemukan kelalaian dalam penerbitan PI yang tidak berdasarkan RPP," ujar Hadi.
Selain itu, kata Hadi, terdapat lima kasus impor daging sapi yang diduga melanggar peraturan dan perizinan yang diberikan dengan indikasi: tanpa SPP, memalsukan dokumen invoice pelengkap persetujuan impor barang.
Kemudian, memalsukan surat persetujuan impor daging sapi, tanpa melalui prosedur karantina dan merubah nilai transaksi impr daging sapi.
"Untuk poin terakhir, tujuannya agar dapat membayar bea masuk yang lebih rendah," kata mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tersebut.