EKBIS.CO, JAKARTA -- Dewan Hortikultura Nasional (DHN) keberatan dengan rencana Pemerintah Indonesia menggandeng Cina dalam penjanjian Mutual Recognation Agreement (MRA/Perjanjian Pengakuan Timbal Balik). Perjanjian ini dinilai terlalu awal dilakukan mengingat negara ini belum mampu berkompetisi akibat daya saing yang rendah.
Selain itu impor pangan pun masih sangat besar. "Ini lonceng kematian yang terlalu pagi bagi petani domestik," ujar Ketua DHN Benny Kusbini, Ahad (2/6).
Benny tidak menampik pertumbuhan industri hortikultura yang sedang terjadi. Namun di sektor pangan khususnya, impor bahan baku masih cukup tinggi sekitar 60 persen. Pembukaan keran impor untuk negara Cina dikhawatirkan memperburuk kondisi petani hortikultura yang masih serba terbatas. Apalagi infrastruktur dan teknologi pengolahan belum terbangun baik.
Pada 2011, nilai impor produk hortikultura tercatat sebesar 1,7 miliar dolar AS. Cina menjadi negara pengimpor produk hortikultura terbesar ke pasar Indonesia. Sebanyak 40 persen impor diisi oleh komoditas bawang putih. Lalu 45 persen diisi oleh komoditas buah-buahan dan sisanya beragam produk hortikultura lainnya.
Pemerintah seharusnya fokus dalam membuat kebijakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) berhasil. Saat ini impor produk hortikultura dikatakan turun sekitar 20 hingga 30 persen.
Rumitnya pelaksanaan hortikultura yang terdahulu menurutnya karena faktor waktu yang kurang tepat. Namun dari sisi kebijakan, sikap Pemerintah Indonesia sudah tepat untuk melindungi petani dalam negeri. "Fakta bahwa Cina merupakan negara pengimpor terbesar seharusnya bisa menjadi bahan untuk negosiasi yang lebih baik," ujar Benny.