Rabu 21 Aug 2013 09:19 WIB

Legislator: Defisit Transaksi Berjalan Ganggu Rupiah dan IHSG

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
Angka pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada layar di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta
Foto: Republika/Wihdan
Angka pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada layar di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta

EKBIS.CO, JAKARTA -- Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Demokrat Achsanul Qosasi menilai permasalahan dalam neraca pembayaran, khususnya dalam neraca transaksi berjalan telah berimbas pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG). "Jadi wajar apabila kondisi dalam seperti ini, rupiah melemah, IHSG turun," ujar Achsanul, Rabu (21/8).

Defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2013 meningkat menjadi 9,8 miliar dolar AS atau 4,4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, defisit transaksi berjalan pada triwulan I 2013 hanya 2,6 persen dari PDB.  Bank Indonesia (BI) memprediksi pada triwulan III 2013, dedisit transaksi berjalan akan turun menjadi 2,7 persen dari PDB.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam kurs tengah BI, Selasa (20/8), tercatat Rp10.504 per dolar AS.  Nilai ini melemah 53 basis poin (bps) dibandingkan kurs sehari sebelumnya.  Sementara dalam perdagangan di Bursa Efek Indonesia, IHSG, Selasa (20/8), ditutup pada posisi 4.136,32 poin atau anjlok 177,2 poin (4,11 persen) dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.

Apa langkah yang harus dilakukan oleh otoritas keuangan terkait? Achsanul menilai dalam jangka pendek dari sisi moneter, BI dapat melakukan intervensi. Walaupun cadangan devisa yang dipegang BI berada pada kisaran 92 miliar dolar AS. Sedangkan dari sisi fiskal, pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan fiskal yang bersifat jangka panjang. Insentif fiskal dan kemudahan perizinan yang lebih cepat. 

Sementara untuk mendorong defisit transaksi berjalan dari sisi neraca perdagangan, Achsanul mengatakan ketergantungan ekspor kepada Eropa harus dikurangi. Terlebih di tengah kondisi perekonomian global yang belum sepenuhnya pulih, harga komoditas belum membaik sepenuhnya. Terdapat pasar baru yang dapat digarap seperti di Afrika maupun Asia Barat. "Selama ini ketergantungan pada Eropa sangat tinggi.  Begitu Eropa krisis, ekspor kita ke sana turun," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement