EKBIS.CO, NUSA DUA – Meskipun dianggap memiliki masa depan yang cerah namun energi terbarukan di Indonesia masih mendapatkan berbagai kendala. Komitmen yang besar dari pemerintah diperlukan agar bisa mencapai target 25 persen pemakaian energi terbarukan pada 2025.
Kepala BPPT Marzan Aziz Iskandar menyatakan, Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang sangat banyak dan bervariasi. “Kita tinggal memilih energi terbarukan mana yang harus digarap lebih dulu,” ujarnya, Selasa (1/10). Menurutnya dari semua potensi yang ada, energi yang paling bisa dieksploitasi dalam waktu dekat adalah panas bumi atau geothermal, biofuel, dan photovoltaic.
Sayangnya saat ini, produksi energi tersebut masih rendah. Kapasitas terpasang panas bumi misalnya baru sekitar 3.442 megawatt (MW). Sedangkan target yang dikehendaki mencapai 9.500 MW pada 2025. Untuk mencapainya menurut Marzan bukan hal yang mudah. BPPT terus mengembangkan sejumlah teknologi untuk meningkatkan kapasitas eksplorasi panas bumi bersama perusahaan lokal dengan konten lokal sebanyak 64 persen.
Namun upaya pengembangan panas bumi dan energi terbarukan lainnya masih terbentur masalah perizinan. “Ketiadaan sistem satu pintu membuat masalah perizinan menjadi hal yang rumit,” katanya. Untuk melakukan eksplorasi panas bumi misalnya, investor harus mendapatkan izin tidak hanya pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), namun juga Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah.
Masalah lainnya adalah minimnya insentif dari pemerintah untuk energi terbarukan. Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan feed in tariff atau harga jual yang ditetapkan pemerintah dengan telah mempertimbangkan keekonomian yang layak bagi para investor energi terbarukan.
Sayangnya upaya tersebut belum benar-benar efektif karena harganya tak cukup bersaing dengan harga energi fosil, seperti minyak ataupun batubara. Hal ini membuat banyak investor tak tertarik menetapkan dananya untuk mengembangkan energi terbarukan. Sementara sulitnya menemukan energi terbarukan membuat masyarakat tak mau beralih dari energi fosil.
Minimnya komitmen pemerintah dalam mengembangkan energi ini juga terlihat dari rendahnya anggaran yang disediakan yang hanya Rp 561 miliar. Nilai ini lebih rendah dari anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai 194,9 triliun pada tahun depan.
Nilai tersebut juga lebih rendah dari anggaran yang disediakan negara lain di Asia Pasific seperti Australia. Perwakilan pemerintah Australia dalam forum energi Asia Pasific Economy Cooperation (APEC) Hellen Bennet menyatakan, negara tersebut mengalokasikan setidaknya 3 miliar dolar Australia atau sekitar Rp 3,24 triliun untuk mengembangkan potensi energi terbarukan yang dimilikinya yaitu angin dan matahari.
Pemerintah Australia juga menyalurkan anggaran dengan nilai yang sama untuk mengurangi emisi serta menyediakan 1 juta atap penghimpun energi matahari. Mereka juga menerapkan insentif yang besar bagi investor yang tertarik untuk masuk dalam bisnis ini. Langkah tersebut mereka lakukan untuk mencapai target 20 persen energi terbarukan pada 2020.