EKBIS.CO, NUSA DUA -- Delegasi Indonesia berencana memperjuangkan kembali perdagangan komoditas andalan, khususnya minyak sawit atau CPO di level Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) supaya perdagangannya tak lagi menemui hambatan. Apalagi, negara-negara maju yang tergabung dalam APEC sudah sepakat menerapkan perdagangan bebas pada 2010, disusul negara-negara berkembang pada 2020 mendatang.
"Kita harus aktif melakukan lobi supaya CPO bisa diterima baik sebagai salah satu komoditas dagang ramah lingkungan di negara ini," ujar Anggota APEC Business Advisory Council (ABAC), Heru Dewanto kepada ROL, Rabu (2/10)
Heru mengakui bahwa CPO sering terkena kampanye hitam oleh pihak-pihak tertentu. Tak hanya negara-negara Asia Pasifik, negara-negara Uni Eropa beberapa waktu lalu juga memutuskan mengurangi konsumsi bahan bakar nabati (BBN) tak lebih dari enam persen dari total 10 persen konsumsi energi terbarukan yang digunakan Uni Eropa untuk sektor transportasi pada 2020. Ini sudah diputuskan pada sidang pleno di Strasbourg, Prancis September lalu.
Eropa sebagai pasar utama ekspor CPO Indonesia, yang pada kenyataannya mengurangi impor CPO dari Indonesia, tentu saja semakin menekan rantai perdagangan negara ini. Heru mengatakan di dalam negeri, pemerintah dan masyarakat harus bisa melihat bahan bakar fosil dan bahan bakar terbarukan (renewable energy) adalah konsisten sebagai satu kesatuan potensi. Sehingga output ekonominya akan sama. Misalnya, meningkatkan konsumsi biofuel atau biodiesel di dalam negeri.
APEC bisa menjadi mesin politik yang dapat mengajak negara-negara anggota yang pada umumnya juga negara penganut World Trade Organization (WTO) untuk menciptakan perdagangan produk yang adil, khususnya produk-produk pertanian. Penolakan besar-besaran akan CPO Indonesia dan proteksi berlebihan terkait kebijakan BBN di negara anggota sangat merusak persaingan dagang yang adil dan bebas menurut prinsip WTO.
Heru mengatakan negara maju anggota APEC masih belum mengakui industri CPO di Indonesia. Padahal, jika kelapa sawit diakui, maka tarif ekspor CPO Indonesia ke 21 negara di Asia Pasifik dua tahun lagi maksimal hanya diberlakukan lima persen bahkan di bawahnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim mengatakan lobi dan perundingan delegasi Indonesia untuk CPO harus tetap dilakukan. Caranya dengan menunjukkan peta konsumsi BBN di dunia dan gambaran produksi BBN di Indonesia saat ini.
Herman menambahkan, faktor utama yang mempengaruhi BBN adalah harus ada pasar utama dan pasar alternatif yang jelas. Indonesia sendiri bisa menjadi salah satu pasar CPO di dalam negeri. "Jika pemerintah sudah berkomitmen akan meningkatkan konsumsi BBN (biofuel) dalam negeri, maka itu harus dilakukan," ujarnya.
Distorsi harga BBN di pasar sangat sulit. DEN mengusulkan kelak CPO Indonesia dijual dengan menggunakan patokan harga internasional. Tujuannya supaya tidak ada bias di pasar. DEN meminta pemerintah juga konsisten dalam penerapan kebijakan bahwa pengguna BBM harus mencampurkan 10 persen biofuel untuk bahan bakar kendaraan di dalam negeri.