EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono mencapai tahun kesembilan.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, menganggap pemerintahan SBY-Boediono tidak khusnul khotimah.
"Kalau semuanya diurus dengan benar, tak layak kita memperoleh hasil seperti sekarang. Ada 12 tahapan kegagalan ekonomi," kata Erani, Ahad (20/10).
Salah satu kegagalan ekonomi yang dihadapi Indonesia adalah persoalan fiskal yakni rasio utang yang lebih tinggi. Defisit fiskal juga membesar. Indonesia juga mengalami instabilitas nilai tukar.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi semakin dalam. Nilai tukar pada Jumat (18/10) ditransaksikan pada Rp 11.308 per dolar AS. Selain itu, inflasi juga terbilang tinggi.
"Yang paling pokok adalah ketimpangan pendapatan yang tinggi," ujar Erani.
Gini ratio atau angka perbandingan untuk mengukur ketimpangan pendapatan masyarakat mencapai 0,41 persen. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, gini ratio di bawah 0,4 persen menunjukkan kesenjangan yang rendah.
Sedangkan 0,4 persen sampai 0,5 persen berarti terjadi kesenjangan sedang, dan lebih dari 0,5 persen berarti terjadi kesenjangan tinggi.
Hal tersebut diperparah dengan defisit neraca perdagangan yang memburuk. Impor semakin tinggi karena Indonesia membutuhkan impor barang modal untuk melakukan produksi. "Kita salah sari awal. Pilihannya kalau ekonomi mau bergerak, impor harus tinggi," kata Erani.
Hal lain yang memburuk di tahun kesembilan pemerintahan SBY-Boediono adalah kedaulatan pangan dan energi yang mencemaskan. Selain itu, kepemilikan lahan petani juga semakin mengecil.
"Di luar itu ada hal yang bagus, tetapi banyak hal yang negatif," ujar Erani.