EKBIS.CO, SURABAYA -- Pakar Studi Kebijakan Publik, Sofyano Zakaria menyatakan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) idealnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). "Dengan begitu ketika SKK Migas berbentuk BHMN maka ia tidak berorientasi mengejar laba seperti BUMN," kata Sofyano, Selasa (28/1).
Menurut dia, pada masa mendatang melalui bentukan baru BHMN maka seluruh hasil minyak dan gas bumi dapat disetorkan langsung ke kas pemerintah. Oleh karena itu, hal tersebut sangat berbeda saat status SKK Migas akan berbentuk BUMN.
"Di sisi lain, dalam undang-undang migas yang akan datang (hasil revisi) harus ditegaskan lebih dulu bagaimana tupoksi dari badan atau lembaga tersebut," ujarnya.
Apabila berfungsi menjalankan bisnis, ungkap dia, SKK Migas bisa menyandang status sebagai BUMN. Akan tetapi, ada baiknya hal itu tidak sampai terjadi. "Ketika BUMN berfungsi sebagai regulator, kami khawatir perkembangan migas pada masa mendatang bisa kacau," tuturnya.
Ia mengingatkan, jika SKK Migas menjadi BUMN maka konsekuensinya perusahaan itu terikat dan harus tunduk kepada UU BUMN yang berorientasi mencari keuntungan. "Lalu, Negara hanya mendapat keuntungan dalam bentuk dividen atau lebih tepatnya bukan penerimaan langsung seperti saat ini," ucapnya.
Jika berbentuk BUMN, tambah dia, maka SKK Migas bisa berpotensi melanggar UUD 1945. Faktor penyebabnya perusahaan itu akan mempunyai kuasa terhadap monetisasi minyak dan gas bumi. "Bisa diartikan kalau hal itu terjadi berpengaruh terhadap pembentukan harga dan alokasi minyak yang tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah," ujarnya.
Selama ini, lanjut dia, SKK Migas bertugas mengelola kegiatan usaha hulu migas berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan supaya pengambilan sumber daya alam migas milik negara dapat memberikan manfaat. "Bahkan, penerimaan yang maksimal bagi negara untuk kemakmuran rakyat," tandasnya.