EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha menilai penguatan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini tak lepas dari sejumlah data indikator makroekonomi yang dirilis pemerintah maupun Bank Indonesia Februari 2014.
Data-data itu antara lain inflasi Januari 2014 dan Neraca Perdagangan Desember 2013. "Itu menunjukkan arah perbaikan ekonomi sehingga hadir sentimen positif dari pasar," ujar Artha kepada Republika, Ahad (16/2).
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada akhir pekan lalu untuk pertama kalinya menembus level di bawah Rp 12.000 per dolar AS. Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) di laman resmi BI, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 14 Februari 2014 berada pada level Rp 11.886 per dolar AS.
Nilai tukar mata uang kebanggaan Indonesia itu menguat 167 poin dibanding kurs tengah sehari sebelumnya yang tercatat Rp 12.073 per dolar AS. Sebagai gambaran, inflasi Januari 2014 berada di level 1,07 persen.
Walaupun relatif tinggi, BI meyakini target inflasi 2014 4,5 persen plus minus 1 persen bisa digapai. Kemudian, neraca perdagangan Desember 2013 tercatat surplus 1,52 miliar dolar AS. Realisasi ini menunjukkan tren surplus neraca pada triwulan IV 2013 terus terjadi. Sebelumnya pada Oktober 2013, neraca perdagangan surplus 42,4 juta dolar AS. Sedangkan sebulan setelahnya, neraca mencatatkan surplus 776 juta dolar AS.
Sementara dari sisi eksternal, Artha menyebut isu tapering off Bank Sentral AS telah ditangani pemerintah dan BI dengan baik. Hal tersebut ditunjukkan lewat kebijakan fiskal yang ketat serta menaikkan suku bunga acuan BI (BI rate). "Dari 2013, kita sudah diombang-ambing (akibat isu tapering off). Sekarang, sudah mulai belajar dan tindakan jangka pendek membuahkan hasil."