EKBIS.CO, JAKARTA -- Reformasi agraria akan berakhir sia-sia jika rakyat kecil hanya diberi tanah semata. Meskipun nanti berhasil terwujud, pada akhirnya reformasi agraria hanya menguntungkan pelaku industri.
Mengapa demikian? Peneliti dan pengajar dari Universitas Gajah Mada, Laksmi Savitri mengatakan karena rakyat kecil tidak punya kompetensi cukup untuk menggarap lahan yang ada. Rakyat kecil tidak memiliki akses modal dan kepiawaian melakukan persaingan pasar. "Kalau tidak ada dukungan yang aplikatif, maka reformasi agraria akan percuma," katanya saat berdiskusi mengenai Politik dan Kebijakan Agraria di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Selasa (8/3).
Reformasi agraria, menurut dia, akan berhasil apabila pemerintah berkomitmen untuk menyetop pemberian konsesi secara luas. Lalu pemerintah memberi jalan bagi bentuk ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya. Misalnya, keberadaan koperasi dimana petani bisa berkelompok secara kolektif.
Pada tahun 2030, Indonesia juga dihadapi pada ledakan demografi. Perlu ada instrumen dimana ada lapangan pekerjaan yang cukup untuk populasi saat itu. "Perlu dibangun industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir," katanya.
Peneliti Antropologi dari Universitas Indonesia, Suraya Afif mengatakan selama ini kebijakan ekonomi belum memberi prioritas pada reformasi agraria. Misalnya saja ketika berbicara tentang pertanahan, dimana selalu dibahas secara sektoral. "Padahal ketika kita bicara pertanahan, tidak bisa lepas dari konteks buruh," katanya dalam diskusi yang sama.
Selain itu, agar reformasi agraria bisa berhasil perlu ada upaya agar kebijakan pengusa modal bisa beralih ke ekonomoni kerakyatan. Hal ini agar kebijakan yang ditelurkan tidak merugikan masyarakat.
Selama ini menurut dia, orang miskin seolah dibiarkan untuk mencari sendiri cara agar sejahtera. Padahal, penyebab kemiskinan erat kaitannya karena tanah orang kecil direbut. "Orang miskin dibiarkan mencari jalan sendiri untuk bebas dari kemiskinan," kata dia.
Kasubdit Pertanahan Bappenas RI, Uke Muhammad Hussein mengingatkan bahwa negara juga perlu menjamin kebenaran informasi sertifikat tanah. Selama ini status sertifikat tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dianggap benar, sampai terbukti sebaliknya. "Tapi kalau misalnya ditemukan ganda, kasus dianggap selesai karena sudah ditemukan aslinya," kata dia.
Seharusnya pemerintah bisa menjamin publikasi positif dengan pertanggungan negara. Selama ini peraturan pendaftaran tanah masih berupa publikasi negatif. BPN hanya punya kekuatan minimum untuk mengelola tanah.