EKBIS.CO, JAKARTA--Lembaga keuangan syariah membutuhkan pedoman tata kelola syariah tersendiri. Ini penting agar keuangan syariah tidak dianggap sama saja dengan keuangan konvensional karena keduanya memang berbeda.
Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, M. Asmeldi Firman, mengungkapkan pesatnya perkembangan industri keuangan syariah telah melampaui perkembangan pendidikan ekonomi syariah dan kajiannya. Ada kekhawatiran ekonomi syariah jadi sekadar perpanjangan sistem kapitalis yang selama ini telah berjalan.
Kemudian dapat menimbulkan keraguan mengenai tata kelola (governance) syariah yang diterapkannya. Padahal, penguatan landasan lembaga keuangan syariah (LKS) jadi penting untuk memperkuat sistem keuangan syariah.
Bila edukasi ekonomi syariah masyarakat bisa lebih masif, maka alasan pemilihan dan kepercayaan masyarakat terhadap LKS yang memiliki tata kelola syariah (shariah corporate governance) yang baik bisa meningkat. Selain juga dibarengi dengan baiknya keamanan dan kemudahan layanan.
Penerapan syariah dalam LKS mengharuskannya untuk konsisten menjaga kesesuaian antara tujuan ekonomi dengan keinginan Allah SWT, masyarakat dan keberlangsungan lingkungan hidup.
Untuk meyakinkan adanya penerapan ketaatan syariah, LKS di Indonesia perlu memiliki pedoman seperti yang telah diterbitkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), Islamic Financial Services Board (IFSB) dan Bank Negara Malaysia (BNM).
''Sebab saat ini, pedoman tata kelola yang ada lebih banyak membahas mengenai lembaga keuangan, perbankan dan asuransi yang bersifat umum. Pedoman itu hanya acuan kerangka dorongan etika dan bukan merupakan aturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat,'' ungkap Asmeldi.
Ketiga pedoman tata kelola Syariah yang disebutkan di atas memang masih belum memiliki pengaturan yang lengkap pula. Namun pedoman tersebut bisa saling digunakan sebagai rujukan untuk menyempurnakan kekurangan yang ada seperti acuan kerangka yang memang sebaiknya ada pada setiap pedoman.
Begitu pula keberadaan fungsi manajemen risiko yang juga sebaiknya dimiliki untuk menjalankan fungsi antisipasi. Sebab jika dibandingkan dengan aturan corporate governance yang diterbitkan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, maka ketiga pedoman di atas sudah mengarah pada konsep ekonomi syariah.
Sayangnya, aturan BI dan OJK tidak menyinggung peran direksi, komisaris dan manajemen sebagai subjek berkewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan LKS sesuai dengan aturan syariah. Tapi baru menekankan pada objek operasional berupa penghimpunan dan penyaluran dana yang harus sesuai syariah.
Padahal, tanpa aturan tata kelola syariah jelas, dikhawatirkan keberadaan LKS tidak mampu menjalankan prinsip syariah secara penuh sehingga (dianggap) tidak jauh berbeda dengan konvensional.
Oleh karena itu, tata kelola syariah lebih dari sekadar tata kelola korporasi karena industri keuangan syariah memiliki konsep dan tujuan berbeda, sehingga sangat penting dan mendesak untuk dibuat aturan mengenai tata kelola syariah tersendiri. Dengan demikian, masyarakat bisa membedakan secara lebih jelas antara keuangan konvensional dan syariah.