EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah dinilai hanya berkampanye soal sejumlah kebijakannya yang dinilai terlalu nasionalisme. Padalal implementasinya nihil sebab dinilai hanya sebatas retorika.
"Ini populis saja karena sedang euforia membedakan pemerintah sekarang dengan rezim sebelumnya, hanya itu saja, sisanya nothing," kata Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati ditemui pada Kamis malam (2/7).
Ia melihat tren yang ditonjolkan pemerintah saat ini, terutama kalangan elit terlalu banyak retorika. Jokowi, kata dia, contohnya dalam pidato di Konferensi Asia Afrika (KAA) mengkritik habis-habisan World Bank. Tapi tidak sampai sebulan justru malah ada kerja sama dengan World Bank. Jadi ia melihat kebijakan yang dinilai terlalu nasionalis hanya sebatas permasalahan komunikasi politik. Selebihnya, ia sama sekali tidak melihat kebijakan apapun dalam pembatasan asing.
"Kita punya semangat menumbuhkan dan memotivasi potensi dalam negeri, tapi itu harus dikemas dengan komunikasi yang elegan dan jangan sampai menimbulkan misinterpretasi," katanya. Sebab jika terus begitu, akan terjadi kekhawatiran buta, padahal tidak ada satu pun regulasi yang tidak pro asing.
Lagi pula masyarakat saat ini tidak membutuhkan hal tersebut. Yang dibutuhkan masyarakat menengah ke bawah yang mendominasi di negeri ini yakni pemerintah segera menstabilkan harga agar mereka bisa berusaha secara kondusif dengan iklim usaha yang sehat.
Sebelumnya, sumbang saran mengatasi pelemahan ekonomi nasional, Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto meminta pemerintah segera melakukan singkronisasi kebijakan. Agar keluhan dan persepsi pengusaha asing bahwa kebijakan nasional telalu nasionalistik dapat dijawab dengan solusi.
Jangan sampai kesan kebijakan yang dinilai tidak welcome terhadap investor asing bertahan lama. Sebab akan berpengaruh terhadap pertumbuhan investasi. "Semoga ke depan presiden dapat mengarahkan para menterinya agar mengeluarkan kebijakan yang bersahabat," tuturnya.