Jumat 04 Sep 2015 06:10 WIB

Soal Kereta Cepat, Presiden Jokowi Diminta Perhatikan 7 Poin Ini

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
?Miniatur kereta cepat diperlihatkan dalam Pameran China High Speed Railway On fast Track di Senayan City, Jakarta, Kamis (13/8).  (Republika/Tahta Aidilla)
?Miniatur kereta cepat diperlihatkan dalam Pameran China High Speed Railway On fast Track di Senayan City, Jakarta, Kamis (13/8). (Republika/Tahta Aidilla)

EKBIS.CO, JAKARTA - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menelurkan 7 poin permintaan kepada Presiden Joko Widodo terkait rencana pengembangan kereta cepat Jakarta - Bandung. Ketua Advokasi MTI Darmaningtyas mengungkapkan, pembangunan kereta cepat dirasa belum perlu untuk saat ini.

Pemerintah, lanjutnya, diminta fokus untuk membenahi pembangunan infrastuktur di luar Jawa dibanding hanya fokus di Jawa saja. Poin pertama yang harus diperhatikan, kata Tyas, bahwa pemerintah, khususnya Presiden harus membuat pernyataan yang tegas mengenai kebutuhan investasi kereta cepat di Jawa. Hal ini untuk menghindarkan debat yang tidak produktif dari para menteri dan pembantu Presiden lainnya.

Poin kedua, lanjutnya, keputusan Presiden dan pemerintah harus dinyatakan dalam bentuk peraturan perundang-udangan yang kokoh dan tidak mudah diubah oleh siapapun yang memerintah ke depan. Perpres untuk mengawali mulainya investasi dapat dilakukan, tetapi harus segera diperkuat dengan membuat UU penyelenggaraan kereta api cepat nasional.

"Ketiga, Presiden harus memperkuat kapasitas kelembagaan dan personil Kementerian Perhubungan, khususnya Ditjen Perkeretaapian untuk mengelola tantangan dan dinamika pembangunan perkeretaapian Indonesia di masa depan," ujar Tyas, Kamis (3/9).

Poin keempat, MTI menilai proyek kereta cepat harus merupakan bagian dari kebijakan transformasi ekonomi wilayah. Segmen Jakarta-Bandung harus dilihat sebagai bagian dari jaringan KA Cepat Jawa. Selanjutnya pemerintah dapat menyusun cetak biru dan “roadmap” KA Cepat Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Proyek ini, ujar Tyas, harus merupakan komplemen terhadap pembiayaan APBN melalui K/L dan BUMN untuk KA regional di pulau-pulau besar lain di Indonesia.

Sedangkan kelima, pemerintah untuk tidak terlalu terburu-buru dalam membuat keputusan untuk menetapkan pemenang proses “beauty contest” Jepang dan Cina. Pemerintah harus menyusun kriteria perencanaan yang tepat untuk membuat pembandingan antar pihak yang ingin berpartisipasi.

Keenam, MTI mendesak agar pemilihan konsultan asing untuk proses penetapan pemenang harus ditolak apabila tidak melibatkan konsultan dan tenaga ahli Indonesia, sebagai bentuk penghargaan yang dimiliki tenaga ahli nasional, serta bagi proses pembelajaran bagi pembangunan perkeretaapian di masa depan.

Poin ketujuh, hasil kerja konsultan asing yang menjadi pendukung tim yang ditetapkan pemerintah harus dipublikasikan secara luas ke masyarakat sehingga penilaian obyektif bisa diberikan untuk menilai kompetensi tim konsultan asing, serta menilai kredibiltas laporan hasil evaluasi.

"Legitimasi keputusan Presiden sangat tergantung pada kemauan pemerintah untuk mengikutsertakan partisipasi masyarakat," lanjut Tyas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement