Rabu 23 Sep 2015 18:55 WIB

Gapki: Tidak Mungkin Pengusaha Sawit Sengaja Bakar Lahan

Red: Citra Listya Rini
Foto tanggal 10 Agustus 2015 tentang kondisi lahan yang hangus terbakar di konsesi perusahaan kelapa sawit PT Langgam Inti Hibrido (LIH) di Kabupaten Pelalawan, Riau, menjadi barang bukti kepolisian dalam kasus kebakaran lahan di Riau.
Foto: Antara/Wakil Direskrimsus Polda Riau AKBP Ari Rahman Nafarin-H
Foto tanggal 10 Agustus 2015 tentang kondisi lahan yang hangus terbakar di konsesi perusahaan kelapa sawit PT Langgam Inti Hibrido (LIH) di Kabupaten Pelalawan, Riau, menjadi barang bukti kepolisian dalam kasus kebakaran lahan di Riau.

EKBIS.CO, JAKARTA  --  Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia meyakini perusahaan perkebunan sawit tak mungkin membakar lahannya secara sengaja. Lantaran perkebunan sawit sudah dianggap sebagai bagian dari mesin produksi dan ada ancaman hukuman berat yang akan dihadapi.

“Tak mungkin ada perusahaan perkebunan sawit yang sengaja membakar lahannya sendiri dengan regulasi yang ketat ada saat ini. Apalagi, lahan itu bagian dari mesin produksi, jika dibakar artinya tak ada produksi,” kata Ketua Bidang Agraria Kelapa Sawit Indonesia Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia  Eddy Martono dalam keterangannya, Rabu (23/9).

Diungkapkannya, Gapki memiliki cabang di 12 provinsi dengan total luas areal dikelola 3,9 juta hektare dengan jumlah anggota 663 perusahan. Sementara total perkebunan sawit di Indonesia 10,9 juta hektare. Artinya, anggota Gapki menguasai sekitar 35 persen dari total Areal perkebunan sawit di Indonesia.

Dari kebakaran di kebun sawit yang merupakan anggota Gapki ada 14 perusahaan dengan total luas 2.900 hektare dimana Plasma yang terbakar sekitar 1.000 hektare dan Inti 1.900 hektare.  “Dari total yang terbakar hanya 100 hektare yang belum tertanam, selebihnya ada tanamannya. Logika saja, masa ada yang mau bakar sudah akan menghasilkan uang,”  katanya.

Ditegaskan Eddy, saat ini perusahaan perkebunan membuka lahan sawit dengan cara mekanisasi dimana biayanya sekitar Rp 6 juta per hektare. Sementara investasi yang dikeluarkan untuk dari awal menanam sampai panen itu sekitar Rp 60-70 juta per hektare atau hanya sekitar 10 persen dari total biaya .

“Logikanya, kalau kita harus menghemat hanya Rp 6 juta per hektare dengan resiko yang begitu besar, artinya begitu ketahuan membakar maka izin dicabut dan denda yang begitu besar bukan puluhan milliar tapi ratusan milliar rupiah. Apakah benar ada perusahan sawit akan sekonyol itu untuk membakar hanya menghemat enam juta per hektare untuk Land Clearing,” tanyanya.

Diharapkannya, dalam melihat bencana kebakaran lahan semua pihak bisa obyektif karena selama ini industri sawit di Indonesia telah berkontribusi atau menghasilkan devisa sebesar 20 juta dolar AS. Bahkan untuk semester pertama tahun 2015 menghasilkan sekitar 9,75 juta dolar AS.

“Saya sampaikan disini perusahan sawit tidak akan beroperasi jika tidak ada Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kemudian data kebakaran dari  Global forest Watch tanggal 21 September 2015 menyatakan  kebakaran lahan yang diluar konsesi sekitar 67 persen sedangkan kebakaran yang berada di dalam konsesi perkebunan Sawit hanya delapan persen, Jadi, tolong memotret ini dengan obyektif,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam jurnal yang diterbitkan Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dinyatakan untuk menyimpulkan kebakaran hutan terkait dengan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak didukung data yang ada.

Di Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan/Barat yang merupakan provinsi yang sedang intensif pembukaan kebun sawit, luas kebakaran hutan justru relatif kecil dibandingkan provinsi sentra sawit yang sudah berkembang lama. Karena itu, dugaan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh pembukaan kebun sawit baru juga sangat lemah dan tidak didukung data yang ada.

Dalam kajian itu dinyatakan pihak yang menjadi korban kebakaran sering malah dijadikan "kambing hitam" penyebab kebakaran tanpa didasari pada analisis rasional dan bukti empiris. Kesimpulan penyebab kebakaran sudah dibangun diatas meja, sehingga dilapangan hanya menghimpun data dan informasi yang membenarkan kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement