EKBIS.CO, JAKARTA -- Penyelenggara haji dan umrah (PHU) menilai sosialisasi layanan non tunai dari perbankan syariah masih kurang. Salama ini, mereka masih mengandalkan uang tunai untuk aneka transaksi di Tanah Suci.
Sekretaris Jenderal Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh) Muharom mengatakan, sosialisasi soal layanan non tunai dari perbankan syariah dinilai masih kurang. Jika bank syariah bisa melayani setoran jamaah berupa rupiah dan bisa ditarik dalam rial di Tanah Suci, itu akan memudahkan PHU.
Apalagi, jumlah jamaah haji dan umrah tiap tahun tak bisa disebut sedikit. Kalau setiap tahun ada 700 ribu jamaah umrah, 60 persennya atau sekitar 400 ribu jamaah umrah ditangani PHU berizin.
400 ribu jamaah umrah dengan harga per paket rata-rata 2.000 dolar AS, perputaran dana pelaksanaan umrah saja mencapai setidaknya Rp 10 triliun per tahun.
''Komitmen PHU lebih besar karena mampu menggiring jamaah ke bank syariah,'' kata Muharom.
Dengan sistem visa terbuka, dua bulan pertama setelah pembukaan visa umrah adalah puncak musim umrah. Tahun ini puncak musim umrah diprediksi pada Safar 1437 Hijriyah (sekitar November 2015).
Guna memenuhi kebutuhan valuta asing (valas) untuk bertransaksi di Tanah Suci, selama ini PHU menukar rupiah ke dolar di tempat penukaran uang sebelum akhirnya dimasukkan ke rekening bank di Indonesia. Simpanan ini yang kemudian dicairkan saat pelaksanaan ibadah di Arab Saudi.
Sayangnya, limit transaksi valas di Tanah Suci terkadang juga jadi kendala. Membawa uang tunai juga mampu menaikkan daya tawar PHU terhadap jasa atau produk yang mereka sasar di sana.
Asosiasi PHU menilai, uang tunai dan non tunai punya lebih dan kurang tersendiri. PHU ingin menggunakan jasa perbankan syariah, tapi kurang fleksibel tapi transaksi tidak secepat konvensional. Padahal, kesepakatan dengan pemilik penginapan di Tanah Suci kadang baru dicapai malam hari dan transaksi valas harus tuntas saat itu.