EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah kembali menggulirkan program sejuta rumah di 2016. Kali ini porsi pembangunan rumah murah untuk Masyarakat Berpendapatan Rendah ditingkatkan menjadi 700 ribu rumah. Sisanya dibangun rumah komersial.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR, Syarif Burhanuddin menyebut, pelaksanaannya harus dilakukan bersama-sama dengan pemerintah daerah, pengembang maupun lembaga keuangan.
"Pemerintah tidak bisa sendirian karena biaya pembangunan rumah untuk MBR dari APBN hanya sebanyak 113.422 unit dan rumah MBR yang dibiayai non APBN adalah 586.578 unit," katanya sebagaimana dikutip dalam rilis, Rabu (2/3).
Selebihnya, untuk rumah non MBR 300.000 unit diserahkan kepada pengembang dan masyarakat melalui pembangunan rumah komersial dan umum. Ia menjelaskan, dari 113.422 unit rumah untuk MBR yang akan dikerjakan pemerintah, 12.072 unit di antaranya adalah pembangunan rumah susun sewa (rusunawa), kemudian program bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau bedah rumah melalui peningkatan kualitas rumah sebanyak 94 ribu unit dan pembangunan rumah baru MBR seribu unit.
Dilakukan juga pembangunan rumah khusus sebanyak 6.350 unit dan untuk pembangunan rumah MBR yang melalui non APBN akan difasilitasi melalui penyaluran KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan non FLPP. Semua hasil pembangunan rumah dalam Program Sejuta Rumah untuk rumah susun sewa nantinya akan digunakan untuk para buruh atau pekerja, PNS, serta TNI/ Polri. Sementara penanganan rumah tidak layak huni diperuntukkan untuk MBR sesuai persyaratan.
Ia lantas menguraikan sejumlah kendala yang dihadapi di lapangan terkait pelaksanaan program sejuta rumah. Kendala tersebut harus diselesaikan dengan gotong royong. Ia di antaranya Program Sejuta Rumah Rakyat yang belum tersosialisasi maksimal di tingkat daerah, data perumahan kurang akurat serta perumahan belum menjadi program utama pemerintah daerah.
Kendala selanjutnya, regulasi pemerintah daerah terkait pembangunan rumah belum mendukung dan perizinannya banyak. "Keterbatasnya lahan dan harga tanah yang mahal juga menjadi masalah klasik hingga kini di tengah tingginya persyaratan KPR oleh Bank Indonesia," katanya.