EKBIS.CO, JAKARTA -- Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang mengandung unsur kehati-hatian. Karena itu, kegiatan restorasi gambut di kawasan budidaya seperti perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga harus menerapkan unsur kehati-hatian agar tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.
Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Dr Daud Silalahi mengingatkan Badan Restorasi Gambut/BRG harus mempertimbangkan kebijakan tata ruang terutama menyangkut peruntukkan kawasan serta pemanfaatan teknologi pada kegiatan ekonomi yang sudah berjalan di kawasan gambut.
“Jika restorasi ‘dipaksakan’ pada kawasan budidaya, akan timbul persoalan baru. Masyarakat dan korporasi yang telah melakukan aktivitas ekonomi di kawasan itu, pasti menolak,” kata Daud, di Jakarta, Jumat (1/4).
Pemanfaatan teknologi juga harus menjadi pertimbangan pemerintah sebelum menerapkan restorasi gambut pada kawasan budidaya.Jika kawasan gambut sudah terkelola baik karena korporasi yang memanfaatkannya telah menerapkan teknologi seperti water management, seharusnya kegiatan restorasi bisa dialihkan ke kawasan lain.
Daud memaparkan, hukum lingkungan memang bertujuan melindungi dan mengamankan alam dari kemerosotan mutu dan kerusakan. Namun demikian, harus diakui, saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan tersebut.
“Ilmu pengetahuan, teknologi serta pertimbangan para pakar di bidangnya bisa menjadi salah pertimbangan sebelum merestorasi ,” kata guru besar Hukum Unpad, Bandung.
Menurut Daud, keinginan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi bagi korporasi yang konsesinya berdekatan dengan lahan masyarakat yang terbakar juga dimungkinkan. “Dari berbagai forum diskusi di tingkat internasional dan nasional, hal itu dimungkinkan karena satu atau beberapa sebab yang berkorelasi.”
Hanya saja, kata dia, hukum harus dilakukan seimbang. Artinya, tidak tertutup kemungkinan pemerintah juga bisa digugat jika lahan masyarakat yang berdekatan dengan kawasan open acces terbakar.“Pemerintah bisa dianggap lalai atau tidak mampu menjaga konsesi yang menjadi tanggung jawabnya.”
Lebih jauh Daud mengingatkan pemerintah untuk melakukan banyak kajian sebelum menerapkan satu kebijakan lingkungan. Pasalnya, semangat dari hukum lingkungan tidak sekedar mengenakan sanksi, namun harus memberi solusi. “Pemikiran-pemikirannya harus dalam konteks Indonesia serta mampu menstrukturkan hukum lingkungan secara akademis,” kata Daud.
Pakar gambut IPB Dr Ir Basuki Sumawinata menilai, jika pemahaman restorasi gambut diterjemahkan sebagai dikembalikan ke awal yakni sebagai hutan rawa gambut bakal menuai banyak masalah. Persoalan akan timbul karena rantai bahan baku dan kapasitas terpasang pada industri hilir akan terganggu.
“Persoalan ekologi mungkin saja selesai, namun akan berimplikasi menjadi masalah sosial dan ekonomi. Karena itu, pemahaman restorasi yang dimaksud pemerintah harus jelas agar tidak memicu persoalan baru.”
Menurut Basuki, kehatian-hatian harus menjadi prioritas karena umumnya konsesi yang diberikan kepada korporasi bukan merupakan hutan rawa gambut ‘perawan’. “Izin konsesi yang diterbitkan pemerintah untuk mengonversi lahan hutan menjadi konsesi HTI ataupun perkebunan sawit, umumnya merupakan lahan terdegradasi dan tidak masuk dalam klasifikasi hutan alam,” kata Basuki.
Basuki mengingatkan, pemerintah juga perlu menjadi mencari solusi dalam mencegah pembakaran lahan dan hutan oleh masyarakat. “Inti persoalannya, bukan pada semangat menghukum, tetapi lebih kepada upaya pencegahan. Jika tidak ada alternatif dan solusi pengganti untuk kegiatan masyarakat, dalam keadaan terpaksa, masyarakat pasti tetap melakukan pembakaran secara sembunyi sembunyi sehingga masalahnya tidak akan pernah selesai.