EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia Darussalam menyarankan DPR untuk tidak meminta kenaikan tarif tebusan pengampunan pajak, khususnya untuk tarif tebusan repatriasi modal. Kalau tarif terlalu tinggi, Darusaslam khawatir program pengampunan pajak tidak akan laku.
Darussalam mengatakan, pengampunan pajak punya tujuan besar membangun ekonomi Indonesia dengan uang-uang yang masuk yang selama ini disembunyikan oleh wajib pajak di luar negeri.
Karena itu, Darussalam berharap para anggota DPR jangan terlalu meributkan mengenai tarif tebusan yang sudah diajukan pemerintah. "Jangan sampai gara-gara kita bermain di tarif, tujuan besar tax amnesty tidak tercapai. Kalau tarifnya tinggi, ya mending tidak usah diberlakukan sekalian," kata Darussalam, Senin (6/6).
Darussalam menjelaskan, salah satu fitur apakah tax amnesty ini akan berhasil atau tidak adalah subjek tarif. Jadi ketika menentukan tarif, harus dikaitkan dengan tujuan besar tax amnesty itu apa.
Dia mengungkapkan, tujuan besar pengampunan pajak adalah membawa pulang uang orang-orang Indonesia yang diparkir di luar negeri. Selain itu juga memperbaiki data pajak yang akan digunakan untuk mengawasi perilaku wajib pajak yang akan datang.
"Mereka harus pahami betul itu. Kalau mau menaikkan tarif, dasarnya apa? Karena kalau ketinggian tarifnya, pengampunan pajak tidak akan berhasil," ujarnya.
Pembahasan RUU Pengampunan Pajak berjalan alot di DPR. Masalah tarif tebusan saja, beberapa fraksi belum menemui kesepakatan. Namun, fraksi-fraksi cenderung mendorong kenaikan tarif tebusan. Nasdem misalnya, mengusulkan tarif tebusan 5-6 persen, PKS 17 persen, Hanura 5-9 persen, dan PDI 5-7 persen.
Pemerintah mengusulkan tarif berjenjang 1-3 persen jika dana yang selama ini ditempatkan di luar negeri, dikembalikan ke Indonesia. Namun, jika dana tersebut hanya dilaporkan dan tidak ditempatkan di Indonesia atau sebatas deklarasi aset, tarifnya dikenakan 2-6 persen.
Baca juga: RUU Tax Amnesty Belum Disepakati Semua Fraksi DPR