EKBIS.CO, JAKARTA -- Kebun kopi Indonesia disebut sebagai yang terluas di dunia. Saat ini, luas kebun kopi di Indonesia sekitar 1,3 juta hektare, disusul Brasil 600 hektare, dan Vietnam 400 ribu hektare.
Namun, luas lahan tersebut dikatakan tak berbanding lurus dengan besarnya produktivitas. "Produktivitas kopi kita masih rendah," ujar perwakilan dari Koperasi Kopi Indonesia Sejahtera (Kopkis) Jamil Musanif di Gedung SMESCO, Jakarta, Rabu (5/10).
Dari segi produktivitas, Brasil menempati urutan nomor satu, kemudian diikuti Vietnam, dan barulah Indonesia di posisi tiga. Brasil mampu menghasilkan biji kopi 4 ton per hektare, Vietnam 3 ton per hektare, dan Indonesia 600 kilogram per hektare.
Hal ini menjadi kegalauan para praktisi dan pecinta kopi di Indonesia. Selama ini pemerintah dinilai hanya fokus ke masalah pangan seperti padi, jagung, dan kedelai.
Selain masalah produktivitas, ada masalah lain yang membelit perkopian di Indonesia yakni ketidakadilan dari segi pendapatan antara petani yang bergerak di hulu dengan di hilir. Jamil berharap ke depannya jurang pendapatan tersebut dapat dipersempit.
Caranya yakni lewat sistem agrobisnis perkopian nasional. Di tingkat petani sebaiknya dikembangkan kelembagaan petani seperti koperasi. "Ini perlu karena salah satu pemasalahan di petani hulu adalah kemampuan untuk menghasilkan kopi bermutu baik," ujarnya.
Untuk menghasilkan kualitas baik (selain dari budi daya), penanganan kopi pascapanen menurutnya tak kalah penting. Proses inilah yang sulit dilakukan petani secara individu. Pasalnya mereka membutuhkan alat pengupas dan mesin pencuci kopi yang membutuhkan investasi tinggi sehingga mereka membutuhkan koperasi.
Dalam kesempatan tersebut, Jamil mengatakan sudah ada 13 kopi yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM sebagai produk khas daerah tertentu, atau yang biasa disebut indikasi geografis (IG).
Produk yang sudah terdaftar ini, misalnya nama kopi arabika Gayo hanya boleh dipakai untuk kopi yang berasal dari Gayo. Apabila bibit kopi Gayo ditanam di daerah lain, maka tidak boleh disebut sebagai kopi Gayo meskipun jenis dan bibitnya sama.
Kalau itu dilakukan maka termasuk dalam tindak pemalsuan dan ada sanksi hukumnya. Selain kopi arabika Gayo, kopi-kopi lain yang telah mendapatkan IG yakni kopi arabika Sumatra Simalungun, kopi liberika Tungkal Jambi, kopi robusta Samando, kopi robusta Lampung, kopi arabik Java Preanger Jabar, kopi arabika Sindoro Sumbing, kopi arabika Java Ijen-Raung, kopi arabika Kintamani Bali, kopi arabika Toraja, kopi arabika Kalosi Enjebeng Sulawesi Selatan dan kopi arabika Flores Bajawa.
Yang berhak atas paten kopi IG tersebut adalah masyarakat perlindungan indikasi geografis (MPIG) di wilayah masing-masing.