Sabtu 22 Apr 2017 06:15 WIB

Memberi Kredit kepada Masyarakat Unbanked, Mungkinkah?

Red: Budi Raharjo
Andi Taufan Garuda Putra, Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan CEO & Founder Amartha
Foto: Amartha Fintek
Andi Taufan Garuda Putra, Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan CEO & Founder Amartha

EKBIS.CO,

Oleh Andi Taufan Garuda Putra, Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan CEO & Founder Amartha

Saat ini ada lebih dari 2 miliar masyarakat di dunia yang tergolong unbanked, dengan angka tertinggi di Asia dan Afrika berdasarkan Laporan Global Findex 2014, World Bank.

Asian Development Bank September 2015; “Financial Inclusion in Asia: An Overview”, juga memaparkan bahwa 78 persen dari 255 juta populasi Indonesia masih unbanked dimana mayoritas dari mereka berada di piramida terbawah. Jumlah ini jauh lebih tinggi daripada angka rata-rata jumlah masyarakat unbanked di seluruh dunia yang sebanyak 38 persen.

Memberdayakan Masyarakat Unbanked

Masyarakat unbanked adalah mereka yang tidak memiliki rekening bank tradisional atau akses ke layanan perbankan. Mereka umumnya berpendidikan rendah sehingga bekerja di sektor usaha informal, dan hidup dengan kondisi keuangan yang minim.

Mereka menghadapi kesulitan untuk memenuhi persyaratan kepemilikan rekening bank, dan umumnya tidak percaya pada sistem perbankan. Faktor lain mengapa masyarakat tersebut tetap tidak memiliki rekening bank adalah karena infrastruktur keuangan yang terbatas untuk menjangkau mereka.

Di sisi lain, sektor usaha informal justru banyak dilakukan oleh masyarakat berpendidikan rendah, bermodal kecil, dan pra sejahtera tanpa akses ke layanan keuangan. International Finance Corporation pada tahun 2013 melaporkan bahwa Indonesia memiliki 55 juta usaha mikro yang mayoritas tidak memiliki akses ke layanan keuangan.

Padahal sektor ini merupakan pemberi kerja bagi lebih dari 90 persen total angkatan kerja di Indonesia. Seperti halnya Ibu Atinah (42 tahun), seorang pembuat bakul nasi dari rotan yang tinggal di Tenjo, adalah satu dari 196,000 lebih keluarga di pelosok Kabupaten Bogor yang harus hidup tanpa layanan keuangan formal.

Segmen pengusaha mikro yang bekerja di sektor informal harus berjuang keras untuk mendapatkan pinjaman dari bank karena tidak memiliki jaminan, berpendapatan musiman dan tidak memiliki sistem pembukuan yang memadai. Lemahnya akses terhadap layanan keuangan menjadi faktor utama atas rendahnya produktivitas usaha kecil dan menengah di Indonesia.

Inovasi Fintech untuk Unbanked

Terdapat gelombang kesadaran di antara para pelaku fintech Indonesia untuk membantu meningkatkan status ekonomi kelompok masyarakat unbanked dan terus melayani ceruk pasar yang besar tersebut.

Fintech, misalnya, dapat melakukan analisa resiko terhadap masyarakat unbanked melalui analisa kepribadian dibandingkan menggali informasi usaha yang sulit diukur. Amartha sebagai pionir fintech P2P Lending yang menjangkau masyarakat unbanked, memodernisasi analisa resiko pembiayaan mikro dengan mengembangkan pendekatan psikometrik dan teknologi credit scoring.

Hal ini bertujuan memberdayakan masyarakat unbanked untuk dapat menjadi peminjam yang layak-kredit sehingga nasabah seperti Ibu Atinah dapat memiliki skor kredit serta riwayat kredit selama menjadi mitra. Riwayat kredit tersebut dapat digunakan di masa depan jika ia membutuhkan pendanaan yang lebih besar dari perbankan.

Ia pun berhasil mendapat pendanaan dari pemodal perorangan sebesar Rp 3 juta untuk meningkatkan jumlah produksi. Dengan demikian, meski beliau tidak memiliki agunan atau pun dokumen-dokumen resmi atas usaha rumah tangga - yang disyaratkan oleh bank - maka pemodal perorangan tetap dapat menyalurkan pembiayaan kepada mereka.

Hal ini menciptakan demokrasi ekonomi, membuka kesempatan bagi mereka yang ditolak oleh sistem perbankan untuk tetap dapat berpartisipasi dalam perekonomian. Inilah inklusi keuangan yang sesungguhnya.

Perpaduan Teknologi dan Kearifan Lokal

Karakter dan kekuatan masyarakat Indonesia ada pada ketekunan, kesantunan, etika, tata krama dan kesederhanaan. Menjangkau masyarakat di pelosok nusantara diperlukan lebih dari sekedar teknologi. Start-up fintech pun secara kreatif memadukan teknologi dengan semangat gotong royong. Amartha misalnya, membangun jaringan Pendamping (Field Officer) di pelosok pedesaan untuk menjembatani pelaku usaha mikro agar dapat memperoleh permodalan secara online.

Field Officer memiliki peran penting untuk menghubungkan platform dengan masyarakat unbanked karena transaksi keseharian mereka masih menggunakan cash. Semangat gotong royong dan kemandirian komunitas ini juga merupakan alat untuk menghindari kemungkinan kredit macet karena komunitas saling menjaga satu sama lain.

Contoh lain adalah KitaBisa yang menjembatani masyarakat dalam menggalang donasi untuk bencana alam. Atau Ruma, yang merekrut para pemimpin komunitas ke dalam sebuah jaringan agen yang terpercaya dan saling terkoneksi dengan teknologi. Selain itu ada Kudo yang memanfaatkan teknologi dan agen untuk bisa menghubungkan masyarakat dengan akses jaringan internet terbatas untuk melakukan pembelian secara online.

Mewujudkan keadilan ekonomi merupakan perjalanan panjang dengan tantangan yang kompleks, namun diiringi pula dengan peluang yang menjanjikan di masa depan. Tantangan terbesar bagi kita semua adalah bagaimana bisa berkolaborasi menyelesaikan permasalah tersebut secara bersama-sama. Layanan fintech bagi usaha mikro diharapkan dapat membuktikan solusi pengentasan kemiskinan, pemberdayaan sektor ekonomi informal, dan inklusi keuangan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement