Kamis 15 Jun 2017 13:19 WIB

Neraca Perdagangan Mei Kembali Catat Surplus

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Warga berjalan dengan latar belakang suasana pelabuhan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Warga berjalan dengan latar belakang suasana pelabuhan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Tren surplus perdagangan terus berlanjut hingga Mei 2017. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, kinerja perdagangan pada Mei 2017 mengalami surplus sebesar 0,47 miliar dolar AS, naik dibanding surplus pada Mei tahun lalu sebesar 0,36 miliar dolar AS. Angka ini didapat dari realisasi nilai ekspor Mei 2017 sebesar 14,29 miliar dolar AS dan nilai impornya 13,83 miliar dolar AS.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah menyebutkan, capaian kinerja perdagangan sepanjang 2017 ini masih mencatatkan perbaikan dibanding periode yang sama tahun lalu. Bila dirinci, nilai ekspor sepanjang Januari-Mei 2017 tercatat sebesar 68,26 miliar dolar AS dan impor pada periode yang sama sebesar 62,37 miliar dolar AS. Artinya, periode Januari-Mei 2017 masih mencatatkan surplus perdagangan sebesar 5,9 miliar dolar AS.

Dari sisi negara mitra perdagangan, Indonesia mengalami surplus dengan negara-negara seperti India sebesar 4,3 miliar dolar AS, AS 4,01 miliar dolar AS, dan Belanda 1,2 miliar dolar AS. Sementara defisit perdagangan dialami Indonesia dengan Cina sebesar -5,89 miliar dolar AS, Thailand -1,576 miliar dolar AS, dan Australia -1,34 miliar dolar AS.

Sairi menyebutkan, kinerja perdagangan Indonesia sepanjang Januari hingga Mei 2017 selalu mencatatkan capaian yang lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2016 lalu. "Harapan kita selama sisa waktu tahun 2017, grafik ini akan selalu menerus," ujar Sairi dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Kamis (15/6).

Sairi menambahkan, dari sisi ekspor terlihat bahwa industri pengolahan tetap mendominasi komoditas ekspor Indonesia ke sejumlah negara tujuan ekspor. Sementara migas misalnya, sektor yang selama beberapa dekade belakangan menjadi andalan ekspor Indonesia, porsi kontribusinya terhadap nilai ekspor Indonesia semakin mengecil. Ekspor migas Indonesia hanya menyumbang 8 hingga 9 persen nilai ekspor Indonesia. Angka ini jauh lebih rendah dibanding sumbangan dari ekpsor produk industri yang mencapai 75,11 persen dan pertambangan sebesar 13,56 persen. Industri pengolahan misalnya, nilai ekspornya mengalami kenaikan dari 44,1 miliar dolar pada Januari-Mei 2016 lalu menjadi 51,3 miliar dolar di periode tahun ini.

Ekspor nonmigas Indonesia sepanjang Januari-Mei 2017 yang sebesar 61,98 miliar dolar AS, lebih banyak disumbang oleh ekspor CPO sebesar 9,93 miliar dolar AS. Sementara berdasarkan jenis barang, komoditas ekspor yang mengalami peningkatan tertinggi adalah mesin-mesin dan pesawat mekanik dengan kenaikan 178,2 juta dolar AS dengan negara tujuan utama ekspor Rusia, besa dan baja dengan kenaikan senilai 93,5 juta dolar AS dengan negara tujuan ekspor utama ke Korea Selatan dan Cina, dan kendaraan dan bagiannya sebesar 88 juta dolar AS.

Sementara komoditas ekspor yang mengalami penurunan tajam adalah ekspor bahan bakar mineral dengan penurunan 115,9 juta dolar AS, terwakili oleh penurunan harga batu bara, perhiasan permata menurun 104,6 juta dolar AS lantaran pasokan bahan baku dari Eropa dan Singapura yang menurun, dan kapal laut mengalami penurunan sebesar 78,8 juta dolar AS.

Sementara itu, bilai dilihat dari asal barang, Jawa Barat dan Jawa Timur masih menunjukkan perannya sebagai sentra industri pengolahan dengan nilai ekpsor masing-masing adalah 11,68 miliar dolar AS dan 7,52 miliar dolar AS. Kedua provinsi ini mewakili nyaris 30 persen daro total ekspor Indonesia. Di posisi ketiga, Kalimantan Timur juga menyumbang nilai ekspor cukup tinggi yakni 7,13 miliar dolar AS atau 10,45 persen dari total nilai ekspor nasional.

Bicara soal impor, Sairi mengatakan, nilai impor Indonesia sempat mengalami kenaikan hingga 15,67 persen dari April ke Mei 2017 dengan nilai 13,82 miliar dolar AS. Kenaikan impor ini berkaitan dengan pemenuhan bahan baku industri terutama makanan untuk kebutuhan Bulan Ramadhan dan Lebaran tahun ini.

"Karena bulan Mei impor bahan baku dan konsumsi untuk hadapi Bulan Ramadhan Lebaran tentu akan meningkat. Karena di bahan baku untuk berbagai produk terutama makanan," ujar Sairi.

Sementara itu, impor utama Indonesia adalah mesin-mesin dan pesawat mekanik dari Cina, Jepang, dan Thailand sebesar 8,43 miliar dolar AS serta mesin dan peralatan listrik. Impor Indonesia pada Januari-Mei 2017 lebih banyak digunakan sebagai bahan baku dan penolong sebesar 40,16 miliar dolar AS atau mengalami kenaikan 17,63 persen. Sementara impor barang konsumsi mengalami kenaikan 11,78 persen, dari 5,05 miliar dolar AS menjadi 5,64 miliar dolar AS. Impor barang modal sebesar 9,48 miliar dolar AS, naik 9,13 persen dari 8,69 miliar dolar AS tahun lalu.

"Ketergantungan industri kita terhadap bahan baku dari luar masih sangat tinggi. Pasokan bahan baku untuk industri kita cukup tinggi, namun di lain pihak kita perlu cermati angka-angka ini karena negara yang menjadi sumber impor kita terbatas dan 25 persen impor dari Cina. Sehingga kalau ada gejolak di negara asal Impor maka kita akan terpengaruh," ujar Sairi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement