EKBIS.CO, JAKARTA -- Kinerja perdagangan (ekspor-impor) Indonesia pada Juni 2017 kembali mencatatkan surplus, melanjutnya tren surplus neraca dagang yang sudah terjadi sejak akhir 2016 lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, surplus perdagangan pada Juni 2017 tercatat sebesar 1,63 miliar dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan bahwa capaian positif kinerja perdagangan ini bisa berlanjut hingga akhir tahun 2017, melihat tren perbaikan yang terus terjadi. Sementara itu, secara kumulatif sejak Januari hingga Juni 2017, nilai surplus perdagangan Indonesia tercatat 7,63 miliar dolar AS. Suhariyanto menyebutkan, angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2012 lalu di mana nilai surplus sempat tembus 15 dolar AS.
"Harapan kami, surplus ini bisa berlanjut sampai akhir tahun," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Senin (17/7).
Lebih rinci lagi, kinerja surplus bisa dicapai dengan nilai ekspor Indonesia pada Juni lalu sebesar 11,64 miliar dolar AS dan impornya sebesar 10,01 miliar dolar AS. Raihan kinerja ekspor dan impor pada Juni 2017 sebetulnya mengalami penurunan dibanding capaiannya pada Mei 2017 atau bahkan bila dibandingkan Juni tahun lalu.
Nilai ekspor Juni 2017 mengalami penurunan 18,82 persen dibanding Mei 2017 dan turun 11,82 persen bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara nilai impornya juga menurun sebesar 27,27 persen dibanding Mei 2017 dan turun 17,21 persen dibanding Juni 2017.
Suhariyanto menjelaskan, penurunan kinerja ekspor secara bulan ke bulan (month to month) pada Juni 2017 lebih disebabkan pola musiman atau seasonal terkait periode puasa dan Lebaran. Dari tahun tahun, sebetulnya selalu terjadi pola peningkatan kinerja ekspor impor dalam menyambut puasa, kemudian diikuti penurunan nilai perdagangan menjelang Lebaran, dan akan pulih kembali setelahnya.
Kenaikan nilai perdagangan menjelang puasa disebabkan seluruh industri menyiapkan pasokan untuk menyambut peningkatan permintaan. Sedangkan menurunnya kinerja ekspor impor menjelang dan selama Lebaran disebabkan adanya libur Hari Raya dan berlakunya larangan truk dan kendaraan berat pengantar logistik dan distribusi barang konsumsi.
Selama Mei hingga Juni 2017, lanjut Suhariyanto, juga diwarnai dengan harga komoditas di pasaran internasional yang belum stabil sepenuhnya. Beberapa komoditas nonmigas yang mengalami penurunan harga di antaranya adalah minyak kelapa sawit, minyak kernel, karet, dan nikel. Sementara komoditas nonmigas yang justru alami kenaikan harga termasuk batu bara, coklat, dan tembaga. Harga minyak dunia dan gas juga cenderung mengalami penurunan selama Mei-Juni 2017.
"Fluktuasi harga komoditas ini beri pengaruh juga kepada kinerja perdagangan Indonesia," jelas Suhariyanto.
Penurunan terbesar ekspor nonmigas Indonesia (bulan ke bulan) pada Juni 2017 terjadi pada komoditas lemak dan minyak hewan nabati sebesar 308,2 juta dolar AS atau turun 16,48 persen. Sedangkan peningkatan tertinggi terjadi untuk komoditas bubur kayu (pulp) sebesar 32,6 juta atau naik 20,05 persen.
Bila dilihat menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri olahan mengalami kenaikan 10,05 persen dibanding periode yang sama tahun 2016 lalu. Demikian juga dengan ekspor hasil pertanian yang naik 23,44 persen dan ekspor hasil tambang dan lainnya yang meningkat 37,23 persen. Berdasarkan negara tujuan eskpor, tiga negara yakni Cina, Amerika Serikat (AS,), dan Jepang masih menjadi tiga besar tujuan ekspor Indonesia, dengan nilai masing-masing adalah 1,35 miliar dolar AS, 1,19 miliar dolar AS, dan 1,01 miliar dolar AS.
Sementara dari sisi impor, peningkatan terbesar impor nonmigas pada Juni 2017 terjadi untuk golongan kapal laut dan bangunan terapung dengan nilai 171,1 juta dolar AS atau naik 295,51 persen. Sedangkan sebaliknya, penurunan tertinggi impor Indonesia dialami golongan mesin dan peralatan listrik dengan nilai 559,1 juta dolar AS atau turun 35,15 persen.
Negara pemasok impor Indonesia masih didominasi oleh Cina dengan nilai impor 15,76 miliar dolar AS atau 25,96 persen dari seluruh angka impor yang dilakukan Indonesia. Sementara Jepang dan Thailand melengkapi posisi tiga besar dengan nilai impor masing-masing adalah 6,77 miliar dolar AS (11,15 persen) dan 4,42 miliar dolar AS (7,28 persen).
Sementara nilai impor untuk semua golongan penggunaan baik barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama semester I 2017 mengalami kenaikan dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan nilai masing-masing adalah 9,5 persen, 11,26 persen, dan 2,06 persen.
"Kami harap ke depan adalah ekspor industri pengolahan yang bergerak karena itu penciptaan nilai tambah," ujar Suhariyanto.