Jumat 04 Aug 2017 07:12 WIB

Pertamina EP Asset 1 Dukung Konservasi Satwa Langka Aceh

Rep: Novita Intan/ Red: Dwi Murdaningsih
Konservasi tuntong.
Foto: pertamina ep
Konservasi tuntong.

EKBIS.CO, ACEH TAMIANG -- PT Pertamina EP Asset 1 Rantau Field telah bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam penelitian genetika spesies Tuntong. Staf Environment PEP Rantau Field, Dedi Zikrian, mengatakan langkah kerja sama tersebut akan terus dikembangkan, serta program pengayaan habitat dengan penanaman mangrove.

"Kami pada November hingga April rutin mengikuti kegiatan konservasi seperti patroli dan mengawal pelepasan tukik pada April setelah telur Tuntong menetas," ujarnya di Aceh Tamiang.

Ia menilai, keterlibatan langsung dalam kegiatan konservasi tidak hanya memperkaya pemahaman tentang Tuntong, tetapi juga bisa mengetahui kegiatan pengembangan konservasi yang berkelanjutan. Salah satunya mendorong lahirnya Peraturan Daerah (Perda) No.3 tahun 2016 atau Kanun (aturan Aceh).

"Agustus nanti, kami akan membangun Rumah Informasi Tuntong agar bisa mengenalkan lebih dekat kepada masyarakat dan generasi muda tentang Tuntong secara lengkap," terangnya.

Ke depan, setelah Rumah Informarsi Tuntong diresmikan akan dilanjutkan dengan pemgembangan ekowisata mangrove sebagai sarana edukasi lingkungan dan keragaman hayati.

Dikesempatan yang sama, seorang nelayan yang juga pemburu telur Tuntong, Abu Bakar menuturkan, hampir 10 tahun terakhir dirinya tidak lagi menemukan telur Tuntong di daerah seperti Sumatera Utara, Riau dan Jambi.

"Hanya tinggal di beberapa daerah satwa ini masih ditemukan, tapi jumlahnya sedikit. Begitu menyadari mulai langka, saya sadar ini harus dilestarikan. Akhirnya, sebanyak 73 Tuntong betina dewasa telah dikembalikan ke habitatnya dan 1.204 anak Tuntong dilepasliarkan setelah ditetaskan," tuturnya.

Selain mencari ikan, ia juga menggantungkan hidupnya pada pemburuan butiran telur binatang melata bernama latin Batagur borneoensis.

"Setiap malam, cari telur bisa dapat 60-100 butir, lalu sebagian dijual Rp 500 harga per butir di tahun 1995, sisanya dikonsumsi atau dijadikan penganan khas temuling atau vla (saus) srikaya untuk melengkapi ketupat dari ketan putih," bebernya.

Kini, penduduk Aceh Tamiang, khususnya di kecamatan Bendahara dan Seruway tidak lagi melakukan perburuan dan mengonsumsinya melainkan turut aktif dalam melestarikan satwa tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement