EKBIS.CO, MERAUKE -- Pemerintah Kabupaten Merauke kembali gelar Stakeholder Meeting II mengenai Pembangunan Kebun dan Industri Kelapa Sawit di Merauke pada Selasa (15/8) kemarin. Rangkaian yang dihelat ini merupakan pertemuan para pemangku kepentingan atas praktik-praktik industri kelapa sawit khususnya di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, Papua.
Bupati Merauke, Frederikus Gebze menjelaskan menghadirkan investor merupakan salah satu langkah untuk mengisi pembangunan di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan program pemerintah RI membuka peluang investasi.
“Pertama terjadi di Provinsi Papua, hanya Merauke yang memberikan total lahan 20 persen untuk plasma di tahun 2016. Kita sudah tanda tangani dan ada sekitar 7-8 perusahaan sudah memiliki koperasi dan siap mengembangkan masyarakat hak ulayat,” kata dia.
Untuk itu, Bupati mendesak perusahaan agar segera membuka kebun masyarakat dan memberdayakan seluruh masyarakat sesuai ketentuan 20 persen pengelolaan hak ulayatnya.
Hadir dalam pertemuan tersebut adalah Bupati Merauke, Frederikus Gebze, masyarakat pemilik hak ulayat di Merauke dan perwakilan dari Boven Digoel, anggota DPD RI asal Papua, Mesakh Mirin, DPRD Merauke, rohaniwan, perwakilan Komnas HAM RI untuk Papua, Frits Ramandey, Dinas-dinas terkait dan beberapa perwakilan perusahaan sawit.
Pertemuan kedua dari para pemangku kepentingan kali ini menyepakati 5 hal. Pertama, mengenai pentingnya investasi bagi kemajuan daerah dan pengentasan kemiskinan. Termasuk di dalamnya investasi untuk pengembangan kebun dan industri kelapa sawit yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, ramah lingkungan, dan memberi manfaat khususnya bagi masyarakat hukum adat yang wilayahnya digunakan untuk pembangunan kebun dan industri kelapa sawit.
Kesepakatan Kedua, kebun plasma, sesuai komitmen perusahaan kepada masyarakat hukum adat, perlu segera direalisasikan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu sebesar 20 persen dari total lahan yang telah disetujui oleh pemerintah.
Ketiga, Masyarakat hukum adat dan masyarakat luas pada umumnya perlu memperoleh akses seluas-luasnya ke kebijakan pemerintah mengenai pembangunan kebun dan industri kelapa sawit, termasuk pula kebijakan perusahaan dan perjanjian hukum perusahaan dengan masyarakat hukum adat.
Hasil keempat, mendorong pihak LSM, masyarakat, pemerintah dan perusahaan untuk terus membangun dialog yang terbuka, setara dan konstruktif dalam rangka mengkaji dan memecahkan masalah demi kemajuan masyarakat hukum adat maupun yang terdampak pembangunan kebun dan industri kelapa sawit.
Terakhir, mendorong pemerintah, perusahaan kelapa sawit, LSM dan lembaga-lembaga yang berkompeten untuk mengembangkan alternatif-alternatif lain yang memungkinkan masyarakat hukum adat memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan budaya, yang lebih besar dan lebih berdimensi jangka panjang.