EKBIS.CO, Oleh: Umar Juoro
Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga kebijakan (7 hari reverse repo) menjadi 4,25 persen dengan pertumbangan inflasi yang rendah dan untuk mendorong pertumbuhan kredit yang masih rendah sekitar 8 persen per tahunnya (yoy) dan sekitar 2 persen sepanjang tahun (ytd). Namun BI sendiri memperkirakan pengaruhnya terutama dalam mendorong pertumbuhan kredit baru akan terasa pada tahun 2018.
Perbankan sendiri masih belum melihat permintaan kredit yang tinggi. Belum terlihat sektor ekonomi apa yang dapat mendorong perkembangan kredit. Apalagi dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) menetapkan kembali ketentuan tiga pilar dalam menentukan kualitas kredit lancar atau tidak membuat rasio kredit tidak lancar di perbankan kembali meningkat. Praktis hanya bank BUMN yang memiliki pertumbuhan kredit yang tinggi terutama untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Pertimbangan BI menurunkan suku bunga kebijakan adalah karena inflasi yanf rendah yaitu 3,8 persen dan diproyeksikan bahwa inflasi pada 2018 adalah juga rendah 3,5 persen. Jika inflasi nantinya melebihi tingkat suku bunga kebijakan kemungkinan BI harus menailkan kembali suku bunga kebijakannya.
Tambahan lagi rencana bank sentral AS the Fed unuk menaikkan suku bunga dapat berdampak pada pelemahan nilai rupiah yang jika besar pengaruhnya BI juga harus menanggapinya dengan kembali menaikkan suku bunga kebijakan. Rencana Pemerintah AS menurunkan pajak saja juga berdampak pada pelamahan nilai rupiah seperti yang terjadi belakangan ini.
Sebenarnya penurunan suku bunga kebijakan tidaklah begitu dibutuhkan. Perbankan dalam keadaan yang kelebihan likuiditas. Sedangkan perusahaan dan individu masih menahan belanjanya karena pandangan terhadap ketidakpastian ekonomi. Apa yang dibutuhkan adalah stimulasi fiskal dengan insentif tertentu. Namun otoritas fiskal lebih terefokus pada mengejar penerimaan pajak yang utamanya untuk membiayai pembangunan infrastruktur, sehingga tidak memberikan perhatian memadai pada memberikan insentif.
Selain itu Menteri Keuangan juga memberikan peringatan kepada Menteri ESDM berkaitan dengan kondisi keuangan PLN untuk menghindarkan kemungkinan gagal bayar (default) yang dapat berakibat buruk juga pada anggaran pemerintah karena adanya jaminan pada PLN. Perhatian terhadap kondisi keuangan BUMN yang mendapatkan tugas berat membangun infrastruktur memang patut mendapatkan perhatian lebih awal untuk menghindarkan permasalahan lebih besar di kemudian hari.
Memberikan tugas pembangunan infrastruktur kepada BUMN, perbankan dalam alokasi kredit dan BUMN karya dan PLN yang membangun infrastrukturnya memang dapat lebih cepat dan terkendali daripada menyerahkan kepada swasta pada saat keuangan pemerintah kurang memadai untuk langsung membiayai pembangunan infrastrukrur. Namun BUMN adalah perusahaan dan banyak dari mereka berstatus sebagai perusahaan publik di mana sebagian dari saham dimiliki oleh publik melalui pasar modal.
Sebagai perusahaan, BUMN harus tunduk pada prinsip perusahaan yang baik terutama dalam aspek keuangan. Dengan modal yang terbatas dan untuk bank BUMN dananya pada umumnya bersifat jangka pendek, maka membiayai pembangunan infrastruktur yang mahal dan berjangka panjang membuat BUMN menghadapi tekanan keuangan yang besar.
Belum lagi imbal hasil dari banyak proyek infrastruktur tidak cukup memadai dalam ukuran pengembalian investasi apalagi mendapatkan keuntungan. Belum lagi keterlambatan yang diakibatkan sulitnya akuisisi tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur. Jika terjadi gagal bayar maka kreditur yang pada umumnya adalah bank BUMN akan mengalami pukulan berat karena besarnya nilai kredit yang bermasalah.
Beberapa BUMN menambah sumber pembiayaan dengan antara lain menerbitkan obligasi. Namun obligasi juga harus dibayar kembali dan memiliki risiko yang harus dijaga. Minat investor untuk membeli obligasi BUMN memang masih tinggi, tetapi dapat berubah cepat jika permasalahan keuangan BUMN nantinya muncul kepermukaan. Peringatan Menteri Keuangan berkaitan dengan kondisi keuangan PLN berdampak pula pada peringatan investor dalam memberikan pembiayaan kepada BUMN baik melalui kredit maupun obligasi.
Bagi BUMN yang proyeknya mendapatkan jaminan pemerintah seperti PLN, resiko gagal bayar menjadi tanggungan pemerintah. Jika ini terjadi juga beresiko politik karena pengeluaran pemerintah untuk menutupi gagal bayar proyek PLN harus dimasukkan dalam APBN dan mendapatkan pengesahan DPR. Belum lagi resiko terhadap menurunnya prospek investasi jika gagal bayar terjadi.
Karena itu semestinya pembangunan infrastruktur menjadi tanggung jawab pemerintah. Hanya proyek infrastruktur yang mempunyai imbal hasil yang memadai dapat dilakukan oleh perusahaan baik BUMN maupun swasta atau kerja sama pemerintah dan swasta. Tugas sosial BUMN semestinya tidak diartikan sebagai menjalankan proyek sekalipun kemungkinan rugi dan memberatkan keuangan perusahaan.
Permasalahannya adalalah pada saat pemerintah kekurangan dana untuk membangun infrastruktur seperti sekarang ini. Apalagi pemerintah juga kesulitan dalam meningkatkan penerimaan pajak. Dalam keadaan ini maka pembangunan infrastruktur harus didasarkan atas prioritas ekonomi, untuk yang berbiaya besar, dan untuk pertimbangan sosial dengan anggaran yang sesuai.
Dengan memberikan prioritas ekonomi dalam pembangunan infrastruktur maka peran BUMN dan swasta menjadi memadai dengan imbal hasil dan risiko yang terjaga baik. Sementara infrastruktur dengan prioritas sosial langsung dibiayai oleh pemerintah, pelaksananya bisa saja BUMN atau swasta.
Dalam pembangunan pembangkit listrik 35 GW sudah sepatutnya dikurangi dan diprioritaskan pada pembangkit listrik yang langsung mendukung kegiatan ekonomi. Untuk pembangkit listrik mencapai tujuan sosial sebaiknya dengan kapasitas yang lebih kecil dan berbiaya rendah. Apalagi pembangunan 35 GW didasarkan atas asumsi pertumbuhan ekonomi 7 persen dan permintaan energi di atas 10 persen.
Pertumbuhan ekonomi sekarang ini hanya 5 persen dan pada 2018 dan 2019 tidak lebih dari 5,4 persen. Permintaan energi juga jauh di bawah perkiraan yaitu hanya sekitar 2 persen. Karena itu sudah sewajarnya target pembangunan pembakit listrik diturunkan disesuaikan dengan prospek ekonomi dan permintaan energi dan kondisi keuangan terutama PLN.
Begitu pula pembangunan infrastruktur lainnya perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi ekonomi dan kondisi keuangan BUMN yang menjalankannya. Jangan sampai semangat untuk membangun infrastruktur berujung pada permasalahan keuangan BUMN yang justru akan menghanbat perkembangan ekonomi.
Upaya BI mendorong ekonomi dengan menurunkan suku bunga kebijakan dan peringatan Menteri Keuangan berkaitan dengan kondisi keuangan PLN adalah penggambaran keadaan di mana di satu sisi kehendak untuk meningkatkan perkembangan ekonomi tidak selalu sejalan dengan kemampuan dalam membiayainya. Jikapun dipaksakan justru akan berakibat pada permasalahan di kemudian hari yang justru akan menghambat perkembangan ekonomi itu sendiri. Karena itu kebijakan perlu diselaraskan dan disinergikan satu dengan yang lain disesuaikan dengan kemampuan khususnya keuangan yang ada.