EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia salah satunya diakibatkan penguasaan lahan yang tidak merata. Penguasaan dan pemanfaatan lahan pun tumpang tindih di tengah tidak meratanya pembangunan.
Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan dari Kantor Staf Presiden Noer Fauzi Rachman mengatakan, hal terebut sehubungan dengan pengelolaan ruang termasuk kawasan hutan yang kurang efektif. Sebab, tidak ada kepastian kepemilikan dan belum adanya satu peta yang digunakan sebagai dasar perencanaan.
"Rakyat perlu mendapat satu kepastian hukum," ujarnya dalam Seminar Nasional Bekerja Bersama Mempercepat Satu Peta untuk Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) di Hotel Ibis Slipi, Selasa (3/10).
Pemerintah menetapkan pentingnya Kebijakan Satu Peta dan menjadikan salah satu prioritas nasional melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016. Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres Nomor 88 Tahun 2017 yang mengatur tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
Menurutnya, satu komponen penting dan bahkan langkah awal dalam RAPS adalah menentukan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) maupun lahan untuk Perhutanan Sosial. Selain itu, hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah penyelesaian konflik yang timbul akibat tumpang tindih penguasaan dan pemanfaatan lahan.
Sejumlah daerah saat ini sedang giat menjalankan percepatan pelaksanaan RAPS. Salah satunya Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Dalam kesempatan tersebut, Bupati Sigi Muhammad Irwan Lapata mengatakan, pihaknya telah memasukkan RAPS dalam sebuah program dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), membuat Tim Gugus Tugas RAPS, serta membuat peta jalan dan rencana aksi. Pemerintah kabupaten bersinergi dengan berbagai pihak melakukan pendidikan reforma agraria dan pemetaan partisipatif.
"Setelah itu proses dilanjutkan dengan melakukan pemetaan partisipatif pada wilayah administrasi desa dan wilayah adat untuk menjadi salah satu dasar utama menentukan TORA, dan lokasi prioritas bagi perhutanan sosial di Kabupaten Sigi," ujarnya.
Kabupaten Sigi pun telah menyusun peta TORA dan menyerahkannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), untuk menjadi rujukan sekaligus bahan evaluasi dalam menjalankan reforma agraria.
Bupati yang menjabat sejak Februari 2016 ini dengan tegas menolak kabupatennya menjadi kabupaten konservasi. Mengingat, mayoritas penduduknya bergantung hidup pada hutan. Untuk diketahui, kabupaten seluas 519.602 hektare ini memiliki kawasan hutan sebesar 75 persen yang mencakup hutan konservasi, hutan lindung dan lainnya sedangkan 25 persennya adalah non-kawasan.
Hal ini membuat pihaknya secara penuh mendukung reforma agraria meski pada masa kepemipinan pemerintah mendatang kebijakan ini bisa saja hilang.
"Jika reforma agraria tidak ada lagi, saya tetap berkomitmen menjaga agar reforma agraria terus berjalan," ujar dia.