EKBIS.CO, Terkait impor, meski janji tiga tahun akan menyelesaikan masalah impor, toh tercatat semenjak Januari hingga Juni 2017, Indonesia masih mengimpor beberapa komoditas. Seperti impor beras khusus (beras yang tak diproduksi di dalam negeri), daging lembu, gula, garam, bawang putih, garam, dan cabai kering.
Khusus garam angkanya masih cukup besar yaitu 1,1 juta ton selama enam bulan pertama di 2017. Bahkan ketika terjadi kelangkaan pada Juli-Agustus, pemerintah terpaksa mengimpor kembali garam konsumsi.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ketika itu mengakui kebijakan impor garam konsumsi sangat merugikan petani lokal. Akan tetapi kendala besar menghadang yaitu ketersediaan lahan yang kurang untuk produksi garam.
Sementara soal beras, pemerintah boleh berbangga. Pada tahun 2016, produksi beras mencapai lebih dari 79 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) membuat Indonesia mengulang sejarah 1984.
Produksi beras melampaui kebutuhan nasional sehingga tak lagi impor hingga sekarang. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, impor beras terakhir dilakukan pada 2015 yaitu sebanyak 1,2 juta ton. Jika ada impor beras yang terjadi pada 2016 maupun tahun ini, pemerintah mengklaim itu adalah beras khusus yang memang tidak diproduksi di Indonesia.
Jagung menjadi bidikan selanjutnya untuk swasembada. Tercatat, produksi jagung terus mengalami peningkatan. Pada 2016, produksi jagung lebih dari 23 juta ton.
Tingginya produksi membuat pemerintah merangkul para pengusaha pakan ternak untuk membantu menyerap jagung petani demi kesejahteraan mereka. Harga beli jagung pun ditetapkan agar pedagang ataupun pengusaha mendapat keuntungan wajar namun tidak merugikan petani.
"Pak Presiden keluarkan Perpres, bahwa harga jagung tidak boleh di bawah Rp 3.150 per kilogram. Ini hanya satu kalimat, tapi berdampak terhadap seluruh petani," kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
Kendati demikian, data Badan Pusat Statistik (BPS) masih mencatatkan angka impor sebesar 1,3 juta ton. pada tahun lalu. Namun, diakui Menteri asal Bone ini, angka impor akan telah turun lebih dari 60 persen dan akan semakin turun hingga nol.
Prestasi swasembada ini menular ke dua komoditas hortikultura, bawang merah dan cabai. Meski jumlah konsumsi dua komoditas tersebut tidak terlampau besar, namun keduanya menjadi komponen penyumbang inflasi terbesar.
Bicara ekspor, Direktur Jenderal Hortikultura Kementan Spudnik Sujono menyatakan sejak Januari hingga Agustus 2017 ada 1.728 ton bawang merah diekspor ke negara tetangga. Sedangkan pada Agustus-Oktober, ia mengaku telah melakukan empat kali ekspor.
Pertama, ekspor 500 ton bawang merah dari Brebes, Jawa Tengah ke Thailand pada 18 Agustus. Sementara target ekspor ke negara Gajah Putih itu sebesar 5.600 ton. Ekspor kedua dilakukan dari Surabaya, Jawa Timur pada 28 Agustus sebanyak 247,5 ton ke Singapura.
Dosen Universitas Negeri Lampung Bustanul Arifin mengatakan, produksi rata-rata cabai di tanah air per tahunnya mencapai 1,8 juta ton atau setara dengan 820 ribu dolar AS. Dalam sebuah simposium nasional dan bedah buku 'Cabai' tengah pekan ini, ia melanjutkan, dengan produksi sebesar itu, nama Indonesia tercatat sebagai produsen utama cabai nomor empat dunia. Peringkat tersebut dikeluarkan FAO pada 20 Juni 2017.
Namun, tingginya produksi tak serta merta menyelesaikan permasalahan di cabai ini. Harga cabai tinggi kerap terjadi pada momen tertentu terutama perayaan keagamaan. Penyebabnya, lantaran tingginya permintaan sementara pasokan cabai fluktuatif.
"Cabai ini mudah rusak," ujar dia. Hal ini membuat pasokan cabai tidak merata, apalagi sentra cabai masih berfokus di Pulau Jawa. Penerapan teknologi pasca panen diakui Bustanul perlu menjadi perhatian pemerintah agar komoditas rentan rusak seperti cabai ini bisa memiliki daya tahan untuk sampai ke konsumen.