EKBIS.CO, SURABAYA -- Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia akhir Oktober 2017 tercatat turun sebesar 2,9 miliar dolar AS menjadi 126,5 miliar dolar AS dari posisi September 2017 yang sebesar 129,4 miliar dolar AS.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, menyatakan cadev sebagai salah satu buffer, bantalan, cadangan, yang memang dikumpulkan pada saat arus modal masuk (capital inflow) tinggi, kemudian digunakan pada saat ada arus modal keluar (outflow).
"Jadi ya wajar, pada saat inflow cadev kita naik pernah sampai level tertinggi 129,4 miliar dolar AS. Pada saat kemarin ini gonjang-ganjing global khususnya dari AS yang ada pembalikan modal ya wajar karena kita harus melakukan stabilisasi nilai tukar kemudian menggunakan cadev ya turun menjadi 126,5 miliar dolar AS," kata Perry di sela-sela penyelenggaraan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2017 di Grand City Convex, Surabaya, Rabu (8/11).
Menurutnya, tren pembalikan modal ke AS lebih banyak dipengaruhi faktor teknikal bukan faktor fundamental. Di antaranya, karena ada rencana kenaikan suku bunga AS (Fed Fund Rate/FFR).
Kemudian ada proses pemilihan Gubernur Fed yang awalnya dovish, menjadi hawkish, kemudian kembali dovish. Sehingga sempat menimbulkan ketidakpastian dan mendorong aliran modal asing keluar.
Selain itu, pajak di AS yang menimbulkan ekspektasi akan mendorong ekonomi lebih tinggi. "Lebih ke faktor-faktor teknikal, mendorong investor jangka pendek yang membeli surat-surat utang Indonesia kemudian mereka keluar. Mereka kalau terjadi uncertainty keluar dulu, kemudian kalau ada celah masuk akan masuk lagi," jelasnya.
Posisi cadangan devisa pada akhir Oktober 2017 tersebut cukup untuk membiayai 8,6 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Perry menekankan, pesan utama yang ingin disampaikan Bank Indonesia, cadev yang sebesar 126,5 miliar dolar AS tersebut jauh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan impor, pembayaran ULN, bahkan kebutuhan-kebutuhan untuk mengantisipasi kalau masih ada pembalikan luar negeri.
"Berbagai indikatornya masih 8,5 atau 8,6 impor maupun ULN, kalau ingin ditambah seberapa besar kebutuhan untuk antisipasi, termasuk risiko pembalikan asing ada indikator digunakan seperti IMF, itu jumlah cadev kita kurang lebih sekitar 127 persen dari IMF parametric, ada kandungan elemen-elemen besarnya pembalikan. Kalau 100 pun sudah cukup untuk mengantisipasi pembalikan asing. Kita sudah punya 126 atau hampir 127 jauh lebih cukup," terang Perry.
Perry juga menegaskan, BI akan selalu berada di pasar untuk terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah. Terkait besaran intevensi, seperti bank sentral lainnya, BI tidak memberikan jumlahnya.