EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyebut ada tantangan besar bisnis daring yang sedang berkembang di Indonesia. Ia menyatakan, saat ini bisnis daring dikuasai hampir sepenuhnya oleh produk impor asal Cina.
"Bisnis online sekarang jadi masalah karena barang-barangnya kebanyakan barang impor sekitar 95 persen dari luar negeri, termasuk Cina. Barang dari Indonesia itu kurang dari 5 persennya saja," kata Luhut dalam seminar "Renewable Energy & Energy Conservation: Knowledge Sharing Session" yang digelar ITB di Jakarta, Rabu (29/11).
Ia mengakui, perdagangan daring memang tumbuh pesat. Hanya saja, persoalan membanjirnya produk asal Cina ini harus diatasi. "Tapi ini trennya sekarang begini, makanya kita harus lakukan sesuatu soal ini," katanya.
Asosiasi E-commerce Indonesia atau Indonesian E-commerce Association (idEA) mengaku tidak memiliki data pasti mengenai komposisi produk lokal dan produk impor yang dijual di niaga elektronik. Namun, Humas idEA Rieka Handayani mengatakan, perusahaan e-commerce memiliki sejumlah program yang memprioritaskan produk lokal.
"Masing-masing mempunyai program, baik yang langsung atau tidak langsung. Misalnya pelatihan UKM dan memarketingkan produk dalam negeri," kata dia, Rabu (29/11).
Di IdEA sendiri, menurut Rieka, ada program yang disebut E-UKM dan Kenduri UKM. Keduanya sama-sama bertujuan untuk mengangkat potensi produk lokal.
Tak hanya itu, sambung dia, idEA juga bersinergi dengan pemerintah untuk memajukan UMKM lewat e-commerce. Salah satu contohnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika memiliki program 8 juta UMKM masuk ke platform niaga digital pada 2020.
Untuk mewujudukan target itu, Kominfo bekerja sama dengan sejumlah perusahaan e-commerce, seperti Belanja.com dan BliBli. Mereka bertugas membantu pelaku UMKM masuk ke pasar digital dengan memberikan sejumlah pelatihan.
Sementara itu, pemerintah sedang menyiapkan aturan ekspor baru agar platform niaga digital bisa memasuki pasar global. Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Joseph Pesik mengatakan, saat ini kajian mengenai aturan yang memungkinkan perdagangan elektronik mengekspor barang secara ritel tersebut sedang berlangsung.
"Kajiannya perlu setahun, paling cepat," kata Ricky saat ditemui wartawan di Djakarta Theatre, Selasa (28/11).
Ia menjelaskan, Badan Ekonomi Kreatif mendorong agar ada kebijakan ekspor baru karena selama ini masyarakat Indonesia bisa berbelanja secara langsung di platform niaga digital yang berbasis di luar negeri, seperti Amazon dan Alibaba.
Sedangkan, orang yang berada di luar negeri tidak bisa berbelanja di e-commerce asli Indonesia, seperti Bukalapak. "Padahal ada batik, tenun, dan kerajinan Indonesia lain yang bisa dijual," kata Ricky.
Karena itu, Bekraf mendorong agar pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan segera menerbitkan aturan baru yang memungkinkan e-commerce lokal untuk menjual secara satuan ke luar negeri.
Mengetahui hal tersebut, idEA merespons positif inisiatif pemerintah yang mulai mengkaji regulasi baru untuk ekspor barang secara ritel melalui e-commerce. Ketua Umum idEA Aulia E Marinto berharap, lewat regulasi baru tersebut, pemerintah akan memberikan kemudahan berupa keringanan pajak dan bea cukai untuk produk ritel yang diekspor oleh e-commerce.
Jika itu dapat dilakukan, Aulia meyakini pertumbuhan industri e-commerce Tanah Air akan makin pesat. "Kalau kita bisa ekspor, bagus sekali. Potensi di ASEAN saja sangat besar," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (29/11).
Namun begitu, kata Aulia, agar e-commerce dapat memasuki pasar global, dukungan regulasi dari pemerintah saja tak cukup. Perusahaan lokal juga harus bersiap diri agar mampu mengelola pesanan dari luar negeri.
Dari segi infrastruktur teknologi, menurut dia, tidak ada masalah. Pelaku usaha e-commerce hanya perlu mengubah tampilan situsnya agar mudah digunakan oleh konsumen dari berbagai penjuru dunia.