EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menekankan pentingnya perusahaan pemegan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun izin perkebunan untuk mengutamakan gambut. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mengelola gambut.
Sekretaris Jenderal KLHK Banbang Hendroyono mengatakan, keseriusan pemerintah ini tertuang dalam PP 57 Tahun 2016 merevisi PP 71 Tahun 2014 dalam satuan hidrologis gambut. Namun, PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) menganggap dirinya dikecualikan.
"Seolah-olah izinnya sudah diberikan, mereka bisa terlepas dari tata kelola gambut," kata dia saat ditemui di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Senin (11/12).
Kondisi faktual kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang dilihat pemerintah menjadikan pengelolaan gambut sebuah persoalan yang tidak bisa dianggap sepele. Sebab, ekosistem gambut dengan kebakaran hutan dalam kondisi tidak baik atau ada kerusakan.
Bambang menambahkan, dengan adanya kerusakan inilah pihaknya sepakat melakukan pemulihan ekosistem gambut, khususnya di fungsi lindung. "Jadi pemerintah menjaga fungsi gambut ini agar bisa terkelola sampai selamanya," ujar dia.
Pendekatan melalui adanya peta ekosistem gambut merupakan upaya untuk mnjaga eksosistem gambut agar tidak terbakar lagi. Pada peta fungsi tersebut dijadikan dasar pemerintah karena akan terlihat mana fungsi lindung dan fungsi budidaya.
Pada praktiknya, kata Bambang, persoalan muncul karena ketika eksisting di lapangan sudah terlanjur terdapat tanaman pokok di fungsi lindung. Hal ini dialami PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Ia melanjutkan, hal ini perlu diatasi dengan Rancangan Kerja Usaha (RKU) perusahaan sebagai wujud nyata pengelolaan gambut.
"RKU mereka kan belum berbasis gambut," kata dia. Pihaknya pun meminta dengan tegas agar perusahaan segera memperbaiki RKU tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Kehutanan IPB Bambang Hero Saharjo mengatakan, karhutla memberi kerugian cukup besar. Berdasarkan studu Bank Dunia, karhutla yang terjadi pada 2015 telah merugikan negara hingga Rp 220 triliun.
Khusus untuk gambut tecatat pada 2015 saja ada 2.078 hektare lahan yang terbakar dengan kerugian mencapai Rp 800 miliar. Lebih dari empat ribu hektare lahan gambut terbakar pada 2016 dengan total kerugian Rp 1,6 triliun dan 545 hektare dengan kerugian Rp 200 miliar pada tahun ini.
"Ini indikasi bahwa manajemen gambut di lapangan tidak bisa diterapkan," kata Hero. Seharusnya ada monitoring untuk menjaga batas air gambut 40 cm. Ini bertujuan membuat gambut relatif basah dan tidak terjadi kebakaran.
Sebenarnya, monitoring batas air bisa dilakukan dengan teknologi Sesame sehingga bisa memonitor pola pergerakan air di dalam gambut. Sayangnya, hal ini belum banyak diterapkan oleh korporasi. "Sehingga mungkin ini yang menyebabkan kebakaran masih terjadi," kata Hero.