Kamis 11 Jan 2018 23:29 WIB

HKTI: Harga Beras tidak Logis

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Budi Raharjo
Harga Beras Naik. Pekerja memindahkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).
Foto: Republika/ Wihdan
Harga Beras Naik. Pekerja memindahkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Kamis (11/1).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Jenderal (Purn) Moeldoko, menilai kenaikan harga beras saat ini yang mencapai Rp 12.000 per kg untuk kategori medium sudah tidak logis. Pemerintah sebetulnya bisa mengatasinya, antara lain, dengan cara mengubah pola subsidi pupuk menjadi subsidi harga pasca panen.

Sebagai Ketua Umum HKTI tentu saya menginginkan kalau para petani itu mendapatkan hasil yang terbaik. Tapi harga beras sekarang ini sangat tidak logis. Dengan HET Rp 9.450 untuk beras medium tapi harga padinya sudah di atas Rp 5.000. "Ini sudah sangat tidak logis," ujar Moeldoko dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (11/1).

Moeldoko mengatakan untuk mengatasi hal itu, subsidi sebaiknya dialihkan ke pascapanen. Pemerintah, misalnya, memanfaatkan dana subsidi itu untuk membeli gabah hasil panen para petani. Maka bila harga gabah yang semula dipatok Rp 3.700 per kilogram, dibeli pemerintah dengan harga Rp 5.000 sampai Rp 6.000 per kilogram. Dengan pola ini maka tidak akan terjadi gejolak harga karena pemerintah bisa menjaga harga gabahnya pada tingkat yang terjangkau oleh petani.

Dengan begitu, uang pemerintah bisa dirasakan langsung oleh petani, karena justru yang diinginkan oleh para petani adalah melindungi harga pasca panen. "Sebenarnya bagi para petani sepanjang dia bisa menjual setinggi-tingginya harga itu sangat nikmat bagi dia," tutur mantan panglima TNI ini.

Apalagi, lanjut Moeldoko. perihal pupuk ini juga kerap menimbulkaan persoalan bagi petani, terutama dalam hal distribusinya yang tidak bagus. Pada saat petani butuh pupuk, barangnya tidak ada. Kalau pun ada barangnya datang terlambat. Ini yang sering terjadi dan dikeluhkan di mana-mana. Harus ada evaluasi untuk perbaikan distribusi.

Menurut Moeldoko, kalau memang subsidi ini tidak bisa memberikan keuntungkan dan manfaat besar kepada petani, mungkin sebaiknya tidak perlu diberikan. Gunakan saja alokasi dana tersebut untuk subsidi harga gabah yang ditetapkan Bulog. "Petani sudah menikmati itu, lebih ke subsidi harga, ini perlu dikaji lagi, harus ada solusi," katanya.

Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran subsidi pupuk sebesar Rp 31,26 triliun kepada petani setara 1,85 juta ton. Dari anggaran tersebut, 855 juta ton dialokasikan untuk pupuk pakai, dan satu juta ton untuk dijadikan sebagai cadangan.

Dengan adanya pupuk bersubsidi, petani pun dapat membayar dengan harga yang murah, yakni Rp 1.790 atau Rp 1.800 per kilogram untuk pupuk, sementara harga pasar mencapai Rp4.800 per kilogram. "Namun karena distribusinya hampir selalu bermasalah maka subsidi itu sering menjadi tidak bermanfaat," terang Moeldoko.

Diutarakan Moeldoko, daripada subsidi pupuk lebih baik harga pasca panennya yang diperbaiki. Saya sebagai ketua umum HKTI tidak mau dong petani saya menderita. Petani itu jangan miskin, harus kaya. Makanya saya usulkan subsidinya bukan di awal, tetapi di akhir yaitu subsudi harga gabah, tuturnya.

Selain solusi tadi, Moeldoko juga menyarankan bahwa untuk mengatasi persoalan harga beras yang selalu muncul setiap tahunnya, pemerintah segera memperbaiki menyeluruh tata niaganya melalui pembenahan regulasi dan sektor hulunya. "Yang terpenting adalah regulasinya. Baik regulasi di tahap peredaran beras maupun pengawasannya. Selama ini belum maksimal. Kalau semua sudah di-brand sejak awal tentu tidak akan begini," jelasnya.

Perbaikan regulasi itu termasuk juga harus jelasnya aturan main dari mulai budidaya, pasca panen, hingga tata niaga atau proses penjualan. Selain itu, pemerintah juga harus membenahi sektor hulunya. Salah satunya masalah masalah akses permodalan bagi petani.

Faktor modal ini harus menjadi perhatian karena rata-rata petani selama ini hanya memperoleh keuntungan kurang dari Rp 2 juta setiap bulannya. Itu terlalu kecil. "Maka perlu modal untuk meningkatkan produktivitasnya agar petani minimum dapat menghasilakan tujuh ton per hektar," pungkas Moeldoko.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement