EKBIS.CO, JAKARTA -- Penggunaan uang digital terus meluas. Pengamat ekonomi syariah Agustianto Mingka mengatakan bila Indonesia hendak menerima, harus ada regulasi kuat sebab bila tidak akan menimbulkan hanyak mudharat.
Menurutnya, bila ingin diterima, negara harus mengatur lalu lintas uang digital.Kalau tidak diatur, uang digital seperti Bitcoin bisa jadi sarana pencucian uang. Karena fluktuatif, uang ini juga bisa hilang. Maka harus dipikir pengamanannya dengan penjaminan untuk proteksi.''Kalau tidak diatur, banyak mudharat dibanding manfaat secara makro. Kalaupun nanti diterima, harus ada syarat ketat secara syariah maupun legal formal,'' ucap Agustianto dalam diskusi kelompok terfokus tentang uang virtual di Cikini, Jakarta, Kamis (25/1).
Pada prinsipnya dalam syariah, tiap pertambahan nilai satu aset harus ada aktivitas ekonomi yang mendasari (underlying). Menurut dia, harus ada aktivitas ekonomi yang meningkatkan nilainya. Sementara, dalam uang digital seperti bitcoin hal itu tidak ada.
Dia menerangkan, jika bitcoin sudah seperti mata uang, berlaku ketentuan sharf di mana transaksi harus spot dan tidak boleh ada penundaan. Hal ini berkaitan dengan volatilitas bitcoin yang tinggi sehingga ada spekulasi.
Menurutnya, jika uang virtual untuk spekulasi, syariah melarangnya. ''Maka pada bitcoin berlaku hukum sharf dan ini sudah termasuk barang riba,'' kata Agustianto.
Agustianto menerangkan Bitcoin bukan barang. Banyak analisis menyebut kalau tidak terkendali akan memicu bubble juga potensi inflasi karena menambah uang beredar di masyarakat.
Dia mengungkapkan prinsip utama moneter Islam adalah stabilitas. Kalau tidak stabil, akan banyak dampaknya dalam kegiatan ekonomi. Sehingga, tugas otoritas moneter menstabilisasi sistem keuangan.