Indonesia dapat mengikuti jejak Taiwan dalam mengelola air agar selalu tersedia sepanjang tahun. “Mereka punya jaringan air yang unik. Dari bendungan, air masuk ke saluran primer, lalu ke sekunder, lanjut ke tersier, dan berakhir ke embung. Dengan demikian, air selalu tersedia meskipun kemarau. Di Indonesia, dari saluran tersier air masuk ke lahan,” kata Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Prof Dr Dedi Nursyamsi, M Agr.
Karena pengelolaan embung yang demikian, kata Dedi, pantaslah apabila Taiwan dikenal sebagai negara yang maju di sektor pertanian. Taiwan mengekspor berbagai komoditas pertanian, terutama buah-buahan dan sayur-sayuran.
“Sebut saja jeruk Taiwan yang oranye dengan rasa khas manis dan asam segar yang digemari penduduk Indonesia,” kata Dedi. Taiwan juga mengekspor beras organik ke berbagai negara di Asia.
Menurut Dedi, keuletan dan kerja keras petani Taiwan itu seiring dengan dukungan serius pemerintah menjadikan Taiwan unggul dalam produksi berbagai komoditas pertanian. Sistem irigasi dengan embung merupakan contoh kerja sama pemerintah (Council of Agriculture, CoA) dengan Asosiasi Irigasi di Taiwan.
“Pemerintah membangun infrastruktur irigasi, seperi bendungan, saluran primer, sekunder, tersier, pintu air, embung, dan saluran kuarter. Sementara Asosiasi Irigasi mengelola distribusi air irigasi, merawatnya, dan merekam data ketinggian air, debit, kualitas air,” tutur Dedi.
Menurut Ketua Asosiasi Irigasi, Mr Yuen, di Taiwan terdapat sekitar 20 unit bendungan besar dan kecil yang dapat mengairi 60 persen lahan pertanian. Sisanya berupa lahan tadah hujan.
“Embung dan bangunan air lainnya sebagian besar dikelola oleh Asosiasi Irigasi dan sisanya oleh pemerintah lokal,” kata Yuen.
Misalnya, di Distrik Tauyuan, terdapat 380 hektare lahan pertanian yang sistem irigasinya dikelola Asosiasi Irigasi. Sedangkan pemerintah lokal hanya mengelola 300 hektare.
Embung di Taiwan disebut sebagai water storage. “Air ditampung di embung selanjutnya dialirkan ke lahan petani dengan memanfaatkan gaya gravitasi karena posisinya di atas lahan,” kata ahli irigasi dari Taiwan Engeneer Research Center, Dr Liu.
Dengan jaringan embung yang berhulu sebuah bendungan, maka embung tidak pernah kering meskipun kemarau. “Embung selalu mendapat pasokan air dari saluran tersier,” kata Liu.
Menurut Liu, terdapat 264 unit embung yang dikelola Asosiasi Irigasi, sedangkan sisanya sekitar 200 unit dikelola oleh pemerintah daerah. Embung dengan luas 10 hektare dan kedalaman 4 meter mampu menghasilkan air irigasi sekitar 45 juta meter kubik. “Tiap embung mampu mengairi lahan sawah sekitar 100 hektare,” kata Liu.
Di Indonesia, terdapat 4 juta hektare lahan sawah tadah hujan dan lahan kering yang berpotensi ditingkatkan indeks pertanamannya jika tersedia sumber air irigasi. Embung, dam parit, sadap air, dan bangunan air lainya merupakan solusi untuk mengirigasi lahan tersebut.
“Indonesia tengah mewujudkan instruksi Presiden Jokowi untuk membangun 30 ribu unit embung dan bangunan air lainnya,” kata Dedi.
Instruksi tersebut melalui Inpres Nomor 1 tahun 2018 tentang embung kecil dan bangunan air lainnya merupakan acuan agar Indonesa segera bangun embung di seluruh tanah air. (DN/Balitbangtan)