Selasa 22 May 2018 05:45 WIB

Rupiah Masih Melemah, BI Siapkan Kebijakan Lebih Kuat

BI melihat rupiah melemah karena tekanan dari luar.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Petugas menunjukan pecahan uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang asing, di Jakarta (ilustrasi)

EKBIS.CO,   JAKARTA -- Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menegaskan, bank sentral siap melakukan langkah kebijakan jika ketidakstabilan rupiah terus berlanjut. Bank Indonesia meyakini kebijakan menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (DRRR) sebesar 25 basis poin bertujuan menciptakan stabilitas keuangan.

"Itu yang jadi dasar kemarin BI 7 DRRR kita naikkan karena melihat ke depan untuk inflasi kita bisa terkena kalau rupiahnya depresiasi terlalu dalam. Apakah kurang? Tentunya bergantung data. Kita terus assest bagaimana perkembangan pasar, dampak eksternal, dan kalau itu sebabkan instabilitas terus berlanjut, kita bisa lakukan upaya langkah-langkah yang lebih kuat," ujar Dody di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (21/5).

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada Senin (21/5) berada di posisi Rp 14.176 per dolar AS. Kendati sudah hampir menembus level Rp 14.200 per dolar AS, BI meyakini kebijakan menaikkan suku bunga tidak terlambat.

Dody menjelaskan, tekanan global saat ini masih kuat. Hal itu ditunjukkan dengan data makro dari AS yang menunjukkan pertumbuhan lebih cepat daripada perkiraan. Dody mengaku, bank sentral tidak melawan mekanisme pasar, tetapi akan tetap menjaga stabilitas nilai tukar.

"BI tetap ada di pasar menjaga stabilitas rupiah, meskipun kita tidak melawan arah pasar itu sendiri. Saya rasa level-level sekarang ini masih fit untuk kondisi rupiah. Tentunya kami jaga likuiditas rupiah dan valas. Jadi, kami intervensi di pasar dan Surat Utang Negara (SUN)," kata Dody.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, saat dihubungi wartawan, Senin (21/5), mengatakan, pelemahan kurs pekan ini bisa sampai ke level Rp 14.300 per dolar AS.  Bhima menambahkan, pemerintah bisa melakukan bauran kebijakan antara stimulus fiskal dan moneter.

Dari sisi fiskal, kinerja ekspor memang perlu didorong melalui berbagai insentif seperti tax holiday bagi perusahaan yang berorientasi ekspor. Sementara itu, dari sisi moneter, bisa diterbitkan aturan tentang kewajiban devisa hasil ekspor ditahan di bank dalam negeri dalam kurun waktu minimal 6-9 bulan seperti yang dilakukan Thailand.

Karena cukup mendesak, lanjutnya, bentuk paling tepat adalah Perpu UU No 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. "Sejak awal tahun Thailand berhasil mengalami apresiasi 1,6 persen (YTD)," ungkapnya.

Menurut Bhima, langkah jangka pendek selain menaikkan suku bunga acuan adalah bunga kupon surat utang pemerintah untuk menahan keluarnya dana asing. Beberapa seri surat utang tidak laku karena kuponnya kecil. Jika dinaikkan, investor masih melihat SBN instrumen yang menarik.

Di sisi lain, efek kenaikan bunga acuan BI bisa berdampak ke naiknya bunga kredit perbankan dalam 2-3 bulan ke depan. Rata-rata bunga kredit 11,20 persen per Maret 2018. Jika BI 7 Days Reverse Repo Rate naik 25 bps, bunga kredit bisa naik menjadi 11,45 persen. "Selain itu, tidak menutup kemungkinan BI akan naikkan bunga acuan hingga 50 bps pada tahun ini," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement