EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian berupaya memotong mata rantai distribusi pangan yang selama ini cenderung panjang dan menyebabkan harga pangan tidak stabil. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) sejak 2016 menginisiasi upaya memotong mata rantai distribusi pangan dengan membangun Toko Tani Indonesia (TTI).
"Dengan demikian, TTI sudah memasuki tahun ketiga yang kini sudah berkembang menjadi 3.655 TTI yang tersebar di 31 provinsi,” kata Kepala BKP, Badan Agung Hendriadi dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id.
Agung menjelaskan, kegiatan ini bertujuan untuk mendukung stabilisasi pasokan dan harga pangan, menyerap produk pertanian nasional khususnya bahan pangan pokok dan strategis; dan memberi kemudahan akses dan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap bahan pangan pokok dan strategis.
TTI dapat memotong mata rantai distribusi menjadi tiga hingga empat titik, yaitu petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) kepada TTI dan TTI menjual langsung kepada konsumen. Untuk memudahkan masyarakat mengenal TTI, tentu perlu strategi pemasaran yang baik. Oleh sebab itu, TTI hadir dengan icon gambar petani dengan label Beras Segar di kemasan muka, untuk membedakan dengan kemasan beras umum yg dijual di pasar.
Secara operasional kegiatan ini melibatkan produk petani yang dibeli oleh Gapoktan dengan harga wajar, kemudian disortasi, dikemas, dan distribusi langsung menjadi beras segar ke pedagang TTI yang berlokasi di pasar atau daerah konsumen yang menjadi barometer fluktuasi harga, dengan harga dibawah harga eceran tertinggi/harga pasar.
"Petani yang tergabung dalam Gapoktan, diajak menjalankan usaha perberasan dengan pola korporasi, sehingga tidak hanya berbudidaya padi, juga menjalankan manajemen korporasi melalui Gapoktan,” ujar Agung.
Lebih lanjut Agung menjelaskan, dalam perkembangannya kehadiran TTI mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama kalangan menengah kebawah. Karena beras yang dijual TTI ke konsumen terjangkau dan berkualitas, yaitu di kisaran Rp 8.500-8.800/kg di seluruh Indonesia. Kegiatan TTI telah melibatkan 1.399 Gapoktan sebagai pemasok bahan pangan, yang didalamnya terlibat 125.910 petani dan 3.655 TTI sebagai outlet dalam memasarkan produk petani.
Dari sisi pengendalian harga pangan, TTI telah berkontribusi dalam menstabilkan harga pangan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai coefisient variation (CV) di bawah 5% sebagai salah satu pengukuran dalam menghitung stabilisasi harga beras.
"Sebelum kegiatan TTI dilaksanakan, nilai CV beras medium sebesar 4,28%, sedangkan nilai CV tahun 2016 sebesar 2,59% dan tahun 2017 sebesar 2,61%,” papar Agung.
Untuk menjawab tantangan di era digitalisasi dan perdagangan e-commerce, dan memudahkan aksesibilitas masyarakat terutama perkotaan di wilayah Jabodetabek dalam memperoleh pangan hingga di tempat, pada awal 2018 telah dikembangkan aplikasi e-commerce TTI.
Melalui layanan online berbasis aplikasi, TTI sebagai outlet dapat memesan beras segar langsung kepada Gapoktan. Meski baru berjalan beberapa bulan, antusias Gapoktan dan TTI di Jabodetabek untuk menggunakan e-commerce TTI cukup pesat. Tercatat sudah sebanyak 273 Gapoktan dan 1.111 TTI ikut serta dalam e-commerce ini.
Sebagai salah satu bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik, telah hadir Sistem Informasi Toko Tani Indonesia (SITANI), yaitu sistem berbasis aplikasi yang dapat diakses melalui website dengan alamat: tti.pertanian.go.id. Aplikasi ini memuat berbagai hal kegiatan TTI mulai dari informasi lokasi gapoktan pemasok dan TTI di seluruh Indonesia, transaksi Gapoktan kepada TTI, transaksi harga dan stok di tingkat TTI, dan lain sebagainya. Ke depan informasi ini bisa dijadikan business market intelligent.
"Dengan demikian, kehadiran TTI merupakan salah satu instrumen pokok dari kebijakan stabilisasi harga untuk melindungi produsen terhadap adanya kepastian harga dan pasar, memberikan kemudahan aksesbilitas pangan kepada konsumen, dan mengendalikan inflasi,” tutup Agung