EKBIS.CO, JAKARTA -- Berbagai kalangan terus menyoroti kaitan data beras baru Badan Pusat Statistik (BPS) dengan kebijakan pangan nasional. Data surplus produksi beras Indonesia sebanyak 2,85 juta ton yang dirilis (BPS) dinilai dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk membatasi impor.
Surplus beras sebanyak itu, menurut Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso, bisa menjaga stabilitas pasokan hingga akhir tahun. Kuncinya ada pada penyerapan beras petani oleh Bulog di bulan Oktober-Desember.
"Kalau surplus bisa terserap separuhnya, stok bisa ditahan hingga Maret ketika musim panen, dan tak perlu impor," ujar mantan direktur jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) dan direktur utama Perum Bulog ini.
Direktur Pengadaan Bulog Bachtiar juga mengklaim stok beras di gudang Bulog saat ini mencapai 2,6 juta ton, atau di atas ambang aman. Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyatakan, dengan stok yang ada pemerintah tidak akan menambah impor. "Dasar impor itu kalau stok Bulog di bawah 1 juta ton dan harga naik sampai dengan 10 persen," kata JK di kantornya, Selasa (23/10).
Senin (22/10) BPS mengeluarkan data produksi padi dan luas lahan sawah yang dihitung dengan metode baru kerangka sampel area (KSA). Potensi surplus beras 2,85 juta ton diperoleh dari selisih proyeksi produksi beras 32,42 juta ton dengan konsumsi 29,57 juta ton per tahun. Angka ini berada di bawah proyeksi produksi beras BPS dengan metode lama yang dilansir Kementerian Pertanian, yakni 46,5 juta ton.
Produk lokal mencukupi
Ketua Umum Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia (APT2PHI) Rahman Sabon Nama mengingatkan pemerintah, untuk ekstra hati-hati dalam penyajian data maupun mengambil keputusan kebijakan pangan. Hal ini agar terhindar dari kesan bahwa data produksi padi yang rendah menjadi alasan mengeluarkan izin impor beras yang akan merugikan petani dan masyarakat konsumen.
Rahman mengingatkan jangan sampai keliru dalam membuat kebijakan terkait anggaran dan impor beras. "Dengan alasan produksi yang rendah dan lahan sawah semakin berkurang, sehingga pemerintah perlu menambah anggaran untuk tambahan impor beras”, ungkap Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini.
Kementan menyebutkan data BPS yang menyatakan surplus beras mencapai 2,8 juta ton hingga Desember 2018, memastikan kebutuhan beras domestik dapat dipenuhi oleh produksi pangan dalam negeri.
Adapun, Sekjen Kementan Syukur Iwantoro mengatakan, dalam empat tahun terakhir terjadi peningkatan populasi sebesar 12,8 juta jiwa. Sehingga jumlah penduduk pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Ini berarti ada kenaikan kebutuhan beras sekitar 1,7 juta ton.
"Ternyata dengan peningkatan jumlah penduduk itu tidak ada gejolak harga. Artinya peningkatan 1,7 juta ton itu masih terpenuhi oleh pangan yang ada di dalam negeri," ujar Syukur di Jakarta.
Syukur mengatakan Kementan terus berupaya mewujudkan swasembada dengan meningkatkan produksi beras dalam negeri. Salah satunya, dengan memanfaatkan teknologi pengembangan lahan rawa dan lahan kering.