EKBIS.CO, JAKARTA -- Kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI), yang mengoperasikan tambang dengan deposit emas di Papua, akan berakhir di 2021. Namun ternyata tidak serta merta Indonesia akan mendapatkan tambang emas terbesar di dunia tersebut secara gratis.
Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro mengatakan kontrak PTFI tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas. Pada sektor minyak dan gas, jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina.
Hal itu disebabkan karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, setelah adanya kewajiban membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah.
Kontrak Freeport yang dibuat tahun 1991 di era Presiden Soeharto tersebut telah menyandera pemerintah untuk tetap memperpanjang masa kontrak hingga 2041. Jika tidak, Indonesia terancam digugat di pengadilan internasional.
"Kalau kalah, diwajibkan membayar ganti rugi senilai puluhan triliun rupiah," kata Komaidi.
Sebagai salah satu upaya untuk 'mengambil kembali' Freeport, pemerintah telah bernegosiasi dengan Freeport McMoRan (FCX), induk PTFI, agar mau melepas kendali di PTFI. FCX didesak untuk membangun pabrik pengolahan baru dengan imbalan perpanjangan masa operasi hingga 2041.
FCX akhirnya sepakat di akhir September lalu untuk melepas kendali atas PTFI ke Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero). Inalum akan memiliki 51.23 persen saham PTFI dengan membayar 3.85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 55 triliun pada akhir tahun ini.
Apa yang didapat dengan membayar Rp 55 triliun? Inalum akan mendapatkan keuntungan yang berlipat.
Inalum berpotensi mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu dan perak senilah lebih dari Rp 2.175 triliun. Dengan mengambil alih kendali PTFI, laba bersih Inalum setelah tahun 2022 diproyeksikan akan mencapai Rp 58 triliun per tahunnya.