EKBIS.CO, RABAT -- Lebih dari 150 negara anggota PBB telah menyepakati pakta tentang migrasi atau Global Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration (GCM) pada konferensi antarpemerintah di Marrakech, Maroko, Senin (10/12). Pakta tak mengikat itu bertujuan mengelola migrasi secara lebih baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan global.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyambut diadopsinya GCM. Menurutnya, pengadopsian GCM adalah upaya penuh dedikasi dan kesungguhan dari negara-negara dunia dalam mengatasi permasalahan migrasi.
"Migrasi selalu bersama kami. Namun di dunia, di mana hal itu lebih tak terelakkan dan perlu, itu harus dikelola dengan baik dan aman, bukan tak teratur dan berbahaya," ujar Guterres saat berbicara di konferensi GCM, dikutip laman Aljazirah.
4.000 Migran Meninggal dan Hilang dalam Perjalanan ke AS
Guterres menilai, dengan adanya pakta tersebut, negara-negara yang telah memiliki kebijakan migrasi dapat terbantu. "Kebijakan nasional jauh lebih mungkin untuk berhasil dengan kerja sama internasional," kata dia.
Saat konferensi GCM dihelat di Maroko, sejumlah negara memutuskan tak hadir. Negara itu antara lain, Australia, Belanda, Austria, Bulgaria, Hungaria, Republik Ceko, Polandia, Republik Dominika, Chili, Latvia, Slovakia, Estonia, dan Italia.
Tak hadirnya negara-negara tersebut cukup disayangkan Guterres. "Saya hanya bisa berharap bahwa mereka akan melihat nilai GMC untuk masyarakat mereka sendiri dan bergabung dengan kami dalam upaya bersama ini," ucap Guterres.
Rancangan GCM disetujui oleh 193 negara anggota PBB pada Juli lalu. Namun Amerika Serikat (AS) telah memutuskan mundur dari pakta tersebut pada 2017.
Menurut data PBB, terdapat 258 juta migran internasional di seluruh dunia tahun lalu. Jumlah itu melonjak hampir 50 persen sejak tahun 2000.
Jumlah migran, yang mewakili 3,4 persen dari populasi dunia, meningkat lebih cepat dibandingkan kenaikan populasi global. Terdapat beberapa faktor yang mendorong meningkatnya jumlah migran, antara lain konflik, ketidaksetaraan, kekerasan, perubahan iklim, dan kemakmuran ekonomi.
Sekitar 80 persen migran dunia bergerak antarnegara dengan cara yang aman dan teratur. Namun lebih dari 60 ribu orang telah tewas sejak 2000. Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), pada 2018 saja, lebih dari 3.300 orang telah tewas atau hilang dalam proses migrasi menuju tujuan internasional.
Bahkan di negara-negara transit atau negara tujuan, kasus rasisme, diksriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dilaporkan terus terjadi. Nasib para migran semakin tak menentu karena adanya sejumlah negara Eropa, termasuk AS, yang telah menerapkan kebijakan sangat ketat bahkan menutup pintu bagi mereka selama beberapa tahun terakhir.
Presiden AS Donald Trump, misalnya, sedang berusaha membangun tembok perbatasan antara AS dan Meksiko. Hal itu dilakukan guna menyekat arus migrasi, termasuk dari negara-negara Amerika Tengah.
Pemerintah Italia juga telah menekan kapal-kapal yang menyelamatkan kelompok migran atau pengungsi yang terombang-ambing di Laut Mediterania. Italia bahkan sempat melarang kapal-kapal pengangkut migran untuk bersandar di pelabuhannya.
Anggota Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) Francesco Rocca cukup mensyukuri tak banyak negara yang menentang GCM. "GCM sangat jelas karena tidak ada campur tangan dalam kebijakan internal atau hukum, tapi hanya menyelamatkan martabat manusia. Siapa pun yang memiliki iktikad baik harus memiliki persetujuaan dengan perjanjian ini," katanya.
Majelis Umum PBB dijadwalkan mengadopsi resolusi yang secara resmi mendukung GCM pada 19 Desember mendatang di New York, AS.
berita menarik lainnya: Reaksi Trump-Hillary Saat Bertemu di Pemakaman George Bush