EKBIS.CO, DENPASAR -- Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) I Ketut Diarmita menargetkan provinsi Bali mendapatkan pengakuan internasional bebas rabies Bali pada 2019. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan image mengenai Bali sekaligus menunjang perekonomian Bali yang bertumpu banyak terhadap industri pariwisata.
Ketut mengatakan, selama 2008 sampai 2018, pemberantasan kasus rabies Bali sudah memakan biaya hingga Rp 300 miliar. Ia berharap, upaya dan biaya yang sudah dikeluarkan ini dapat berdampak signifikan pada tahun depan. "Targetnya, menurut penilaian internasional, Bali sudah 0 persen rabies," tuturnya saat konferensi pers di Balai Besar Veteriner Denpasar, Bali, Jumat (21/12).
Ketut menuturkan, kasus rabies kini sudah menjadi sorotan internasional mengingat Bali sebagai etalase Indonesia di mata masyarakat global. Oleh karena itu, ia menegaskan pemerintah daerah untuk merampungkan sejumlah langkah terkait dengan penuntasan penyakit ini secara terstruktur dan jelas.
Menurut Ketut, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak mampu menyelesaikan permasalahan rabies. Selain anggaran yang mencukupi, cakupan pulau Bali terbilang kecil, sehingga pemerintah harusnya bisa menyelesaikan dalam waktu singkat. Sumber Daya Manusia (SDM)nya pun mumpuni.
Pemberantasan virus rabies menjadi prioritas untuk mendukung industri pariwisata. Dengan adanya virus ini, Ketut cemas, wisatawan domestik dan mancanegara masih takut atau enggan berkunjung ke Bali. "Citra Bali dan Indonesia pun tentu akan membaik kalau kita bisa berantas habis serta mendapatkan pengakuan internasional," ujar Ketut.
Untuk mencapai pengakuan itu, Ketut menambahkan, pihaknya sudah membuat tim yang terdiri dari pemerintah pusat maupun daerah di Bali untuk mengidentifikasi permasalahan strategis terkait rabies. Di dalamnya termasuk kebutuhan vaksin sebagai dasar penetapan anggaran pemberantasan rabies pada 2019.
Dengan bersinergi, Ketut berharap, virus rabies sudah menghilang 100 persen saat tim pemantauan animal welfare internasional datang ke Bali. Ia sendiri belum mengetahui secara mendetail kapan pastinya tim tersebut akan datang ke Bali untuk assesment.
Ketut menuturkan, memberantas rabies di Bali bukanlah perkara mudah. Sebab, hampir 70 persen dari populasi anjing di Pulau Dewata dibebas liarkan dan hanya 30 persen yang dipelihara. "Mengejar yang liar itu sangat sulit," katanya.
Ketut mengatakan, Ditjen PKH telah mengalokasikan bantuan berupa pendanaan, pendampingan, dan bantuan teknis lain guna memastikan pemberantasan rabies di Bali bisa dilaksanakan dengan baik. Selain itu, pemerintah telah menyiapkan sumber daya manusia pelaksana kegiatan tersebut, dan melakukan penambahan petugas vaksinasi.
Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar I Wayan Mase Tenaya menjelaskan, target pembebasan rabies sendiri sudah dicanangkan rampung pada 2017. Tapi, karena saat itu ada kesalahan teknis dalam pengadaan vaksin yang tidak konsisten, rabies belum dapat tuntas diselesaikan. Hal ini menjadi tantangan sekaligus pengalaman untuk melakukan perbaikan.
Saat ini, Mase mencatat, setidaknya ada 90 desa yang dianalisis memiliki anjing rabies. Angka tersebut sudah berkurang signifikan dibanding dengan total desa di Bali yang mencapai 716 desa. "Berarti sekarang tinggal 13 persen,” ujarnya.
Mase menuturkan, agar pemberantasan berjalan signifikan, pihaknya akan intervensi ke dinas kabupaten dan kota. Khususnya dalam memberikan edukasi mengenai ciri rabies dan pengobatannya. Sebab, selama ini, masih banyak masyarakat yang belum memahami bahwa rabies adalah penyakit berbahaya.
Pada tahun ini, sekitar empat orang meninggal dunia di Bali. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, yakni dua orang. "Ini dikarenakan mereka tidak melaporkan ke dinkes (dinas kesehatan) ketika sudah tergigit anjing. Kalau segera dilaporkan, akan bisa langsung ditangani," kata Mase.