EKBIS.CO, JAKARTA -- Salah satu sumber kemelut soal pangan adalah kekurangtegasan kementerian dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing. Menurut pengamat komunikasi politik yang juga mantan anggota Kelompok Kerja (Pojka) Ketahanan Nasional, Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) Tjipta Lesmana, salah satu contoh kemelut tugas dan fungsi antarkementerian yang terjadi saat ini adalah Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.
Padahal, kata dia, Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara sudah jelas mengatur fungsi dan tugas semua kementerian di negara ini. “Kementerian Pertanian, misalnya, tugas pokoknya menangani produksi pangan, sedang Kementerian Perdagangan mengurus perdagangan ekspor-impor. Jangan diputar-balikkan dong,” kata Tjipta Lesmana di Jakarta, Selasa (8/1).
Tjipta melanjutkan, pengaturan fungsi dan tugas kementerian diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian dan Perpres 48 tahun 2015 tentang Kementerian Perdagangan. Perpres itu mengatur lebih rinci tugas dan fungsinya masing-masing kementerian.
“Sebetulnya, sudah clear, sudah sinkron. Yang diproduksi mesti didorong untuk diekspor, jangan mengurusi impor saja,” kata dia.
Sayangnya, kenyataan saat ini Kementerian Perdagangan cenderung senang melakukan impor beras. Tiga tahun yang lalu, bahkan Kementerian Perdagangan tiba-tiba mengatakan siap impor 5 juta ton beras dari Pakistan. “Apa dasarnya? Nyatanya, impor 5 juta ton beras itu kemudian batal. Negara kita tidak darurat beras,” ujar Tjipta.
Tjipta pun menilai, impor beras 2018 sebesar 2 juta ton sebetulnya mubazir karena tidak efektif menurunkan harga. Buktinya, harga beras hingga kini tetap tinggi padahal stok beras Bulog banyak, yakni mencapai 2,17 juta ton. Begitu pun stok beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) per 7 Januari 2019 masih sangat tinggi, yakni 57.065 ton.
“Sebentar lagi petani juga akan menikmati panen raya. Anomali harga beras di pasar mesti diselesaikan Kementerian Perdagangan. Jangan lepas tangan,” kata Tjipta.
Mengenai ekspor pangan, Tjipta menyatakan, pada 2018 Indonesia sudah mampu ekspor jagung sebanyak 372 ribu ton. Semua pihak terkait, termasuk Kementerian Perdagangan, mestinya sama-sama punya tanggung jawab untuk mengendalikan harga dengan cara turun ke lapangan dan menyerap produk petani.
Pendek kata, menurut Tjipta, jika ada komoditas pangan yang naik harganya, jangan cepat-cepat ambil solusi impor. “Mestinya dilakukan diagnosa yang jitu dulu apa sesungguhnya penyebab kenaikan harga itu,” tutur Tjipta.
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, dia melanjutkan, harus memiliki koordinasi dan sinkronisasi yang baik. Rencana impor pangan yang hendak dilakukan Kementerian Perdagangan sebaiknya dibicarakan dulu dengan Kementerian Pertanian, bahkan perlu mendapat rekomendasi dulu dari Menteri Pertanian.
Contohnya, soal impor garam. Banyak orang geleng-geleng kepala dan bertanya megenai hal itu. Sebab, Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia. Tentu hal yang aneh apabila masih harus impor garam dalam jumlah besar.
“Saya juga mempertanyakan kenapa tidak ada surat rekomendasi Menteri KKP Susi Pujiastuti untuk impor garam ini? Bukankah Bu Susi dan aparatnya lebih tahu tentang produksi dan kecukupan garam? Begitu juga dengan impor gula dan gandum. Apa tidak sebaiknya dibahas dulu dengan menteri-menteri teknis yang terkait ? Tanpa rekomendasi dari Menteri teknis yang terkait, bisa berpotensi melanggar undang undang.”
Oleh karena itu, Tjipta menyarankan, sudah waktunya semua kementerian menjalankan fungsi dan tugasnya secara benar dan rigid sesuai UU 39/2008. Jangan sampai ada satu kementerian yang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan tupoksinya.
“Bisa repot negara kita. Apalagi, kalau terkait masalah pangan yang sangat strategis dan berdampak luas terhadap rakyat,” kata Tjipta.