EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) membantah pernyataan Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CPIS) Assyifa Szami Ilham yang menyatakan produktivitas jagung Indonesia hanya 2.81 ton per hektare. Kasubdit Jagung, Direktorat Serealia, Andi Saleh menyebut CPI sangat tendensius dan cenderung membuat gaduh di masyarakat. Apalagi menyimpulkan semua ini akibat program upsus pajale yang dinilai tidak efektif.
Menurut Andi, data FAO secara resmi menyatakan pada 2017 rata-rata produktivitas jagung Indonesia sudah 5,2 ton per hectare. Angka tersebut jauh lebih unggul dibandingkan Thailand sebesar 4,5 ton/ha. Dengan demikian, Andi mempertanyakan data acuan CPIS.
Andi menyarankan CPIS sebagai lembaga penelitian lebih jujur menampilkan data dan menyampaikan fakta, serta hati hati menerima sponsor dana penelitian. Jangan sampai kucuran dana penelitian dibarengi dengan “pesanan” kesimpulan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu atau sponsor.
“Pernyataan CPIS merendahkan dan menyepelekan kemampuan petani kita. Faktanya, BPS sebagai lembaga resmi penyedia dan pencatat data masih menyatakan produktivitas jagung Indonesia sudah mencapai diatas 5,2 ton per ha. Fakta di lapangan produktivitas di daerah sentra justru mencapai di atas 7 ton. Produksi jagung kita meningkat tajam setelah adanya upsus. Dari 19 juta ton PK di 2014 meningkat tajam hampir dua kali lipat menjadi 30 juta ton PK,” kata Andi.
Andi menjelaskan, produktivitas yang dicapai tersebut karena teknologi budidaya jagung sudah dikuasai petani Indonesia. Demikian pula, dukungan produsen benih baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang intensif mendorong perluasan areal tanam jagung.
“Para produsen benih ini berkepentingan mengembangkan pasar jagung, sehingga mereka menyebarkan tenaga penyuluh lapangannya atau biasa disebut agronomis memberikan pendampingan teknis kepada petani jagung,”ujar Andi.
Lebih lanjut Andi ingin mengajak peneliti CPIS baik dari jajaran puncak hingga peneliti yunior turun ke lapangan mengevaluasi program pengembangan jagung nasional yang dilaksanakan dalam kerangka upsus pajale.
“Kami undang CPIS turun ke lapangan, lihat fakta, baru bicara. Upsus pajale diarahkan pada daerah-daerah baru karena menggunakan pendekatan pengembangan areal tanam baru (PATB). Jadi bantuan benih tidak diberikan pada petani-petani yang sudah biasa tanam jagung tetapi diberikan petani lain untuk stimulasi perluasan areal tanam. Pangsa pasar konvensional tidak terganggu. Justru produsen diuntungkan dengan perluasan pasar. Selain itu bantuan benih yang diberikan adalah benih yang berkualitas, yaitu produktivitas rata-rata harus diatas 9 ton per ha, serta sebelum penyaluran ke petani dilakukan uji mutu oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) disetiap provinsi,” tambah Andi.
Andi menduga kesimpulan Assyifa Szami Ilham di atas disasarkan pada penelitian CPIS pada 2018 yang didanai pihak lain. Diketahui, pada 2018, CPIS menerima dana sponsorship penelitian dari Pemerintah Australia melalui Departemen Luar negeri dan Perdagangan dengan judul Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan: Reformasi Mekanisme Penyaluran Benih Jagung Hibrida. “Sayangnya, CPIS sama sekali tidak melibatkan kita atau meminta data kita pada penelitian tersebut, sehingga tidak mendapat fakta yang sebenarnya. Ya pastilah hasil penelitiannya bias kepentingan,” pungkas Andi.