EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti dari Visi Teliti Saksama Nanug Pratomo menilai, setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi terkait rencana swasembada jagung. Pertama, tingginya kadar air yang dimiliki jagung lokal, yakni lebih dari 15 persen. Untuk produksi pakan ternak, persentase tersebut sering dirasa terlalu tinggi.
Permasalahan kedua adalah masalah harga yang terlampau tinggi dan kerap fluktuatif. Salah satu penyebabnya, rantai pasok jagung pipil kering yang panjang dari produsen hingga ke tangan konsumen. "Ini PR (pekerjaan rumah) pemerintah dan pihak terkait, kalau kita memang benar ingin swasembada pangan," ujar Nanug dalam diskusi Data Jagung yang Bikin Bingung di Jakarta, Kamis (21/2).
Ketiga, terpenting, terkait keseimbangan produksi dengan permintaan. Selama ini, Nanug melihat, kondisi permintaan masih belum mencapai keseimbangan. Meski data produksi terus meningkat, kesesuaian dengan permintaan patut dipertanyakan. Hal ini memicu perdebatan apakah impor jagung memang dibutuhkan atau tidak.
Dari data yang diperlihatkan Nunug, produksi dalam negeri akan terus berada di bawah permintaan domestik hingga 2029. Melihat kondisi ini, keinginan swasembada pemerintah patut menjadi pertanyaan besar. "Apakah kita bisa menghentikan impor jagung, sedangkan kebutuhan jagung terus ada?" katanya.
Tantangan terbesar bagi Indonesia untuk menyetop impor adalah penggunaan jagung dalam industri pakan yang besar. Pada 2018, kebutuhan mereka terhadap jagung mencapai 10 juta ton dan akan meningkat menjadi 11 juta ton pada tahun depan. Tren tersebut akan meningkat seiring dengan semakin semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap ayam dan telur.
Nunug menambahkan, jagung sebagai pakan ternak tidak hanya dibutuhkan industri besar. Tidak sedikit peternak kecil yang membeli jagung mentah langsung dari petani karena tidak sanggup membeli hasil pabrikan. Oleh karena itu, isu harga jagung tidak terbatas untuk perusahaan.
Apabila produksi jagung belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri yang besar, terutama untuk industri pakan, impor jagung akan tetap dibutuhkan. Hanya saja, permasalahan saat ini adalah seberapa banyak jumlah jagung impor yang dibutuhkan untuk menutupi kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, dibutuhkan data yang akurat dari suatu lembaga independen. Apabila keputusan terus dibiarkan berjalan tanpa ada basis data yang kuat, Nunug mencemaskan terjadinya ketidakseimbangan dalam pemenuhan kepentingan. "Beberapa pihak untung, sedangkan lainnya merugi," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika menuturkan, kebijakan impor jagung harus dilihat secara komprehensif. Apabila memang ingin menghentikannya untuk mencapai swasembada, pemerintah harus memastikan bahwa tidak akan terjadi kerugian di sektor lain.
Yeka menjelaskan, kebijakan pemerintah untuk pengendalian impor jagung selama tiga tahun terakhir membuat meroketnya impor gandum. "Komoditas ini digunakan sebagai pengganti jagung dalam bahan baku pakan ternak," ujarnya.
Menurut data statistik yang diolah Pataka, volume impor jagung terus mengalami penurunan dari 1,31 juta ton pada 2016 menjadi 500 ribu ton di tahun berikutnya dan kemudian naik lagi ke angka 737,2 ribu ton pada 2018. Tapi, di sisi lain, impor gandum mencapai 2,2 juta ton pada 2016 dan terus naik menjadi 3,1 juta ton pada 2017.
Sementara itu, Yeka menambahkan, kebijakan penurunan jagung impor juga belum dikorelasikan dengan kemampuan produksi dalam negeri. Hal ini membuat harga jagung mengalami kenaikan dari Rp 3.000 per kilogram pada 2014 menjadi Rp 5.000 per kilogram pada 2018.